Categories
101 La Galigo I UPS! La Galigo Lontara Project

I Preserve La Galigo: Tag Us Your Support! Week #4

Rani (Makassar) dan Hijrah (Padang), "Ewako!", "Lestari!"Randy Taufik, YogyaRahmat Dwi Putranto, Depok, "Keep spirit up!"Ocha Laparembai, Pinrang, "Semangat Pemuda!"Muhammad Yusuf, Jakarta, "Lontara Project Asik..."Muhammad Ulil Ahsan, Wajo, "Great job for Lontara Project!"Muhammad Sofyan, Wajo, "Senang bisa bertemu teman sekampung. Ewako!"Muh. Alif Chaeran, MakassarM. Fajrin, Mandar, "Ayo! Kembali ke kampung halaman!"Cula, Hamham, dan Hilman, YogyaAnggita Paramesti, Yogyakarta, "Mencintai budaya Indonesia tanpa pandang bulu. Meskipun ayah saya dari Kulon Progo dan saya tinggal di Bantul, I UPS! LA GALIGO!"Andrew Alexander, Makassar
Muhammad Ulil Ahsan (Wajo), "Great job for Lontara Project!"
Rahmat Dwi Putranto (Depok), "Keep spirit up!"
Muh. Alif Chaeran (Makassar)
Anggita Paramesti (Yogyakarta), "Mencintai budaya Indonesia tanpa pandang bulu. Meskipun ayah saya dari Kulon Progo dan saya tinggal di Bantul, I UPS! LA GALIGO!"
Andrew Alexander (Makassar)
M. Fajrin (Mandar), "Ayo! Kembali ke kampung halaman!"
Ocha Laparembai (Pinrang), "Semangat Pemuda!"
Muhammad Sofyan (Wajo), "Senang bisa bertemu teman sekampung. Ewako!"
Randy Taufik (Yogya)
Rani (Makassar) dan Hijrah (Padang), "Ewako!", "Lestari!"
Muhammad Yusuf (Jakarta), "Lontara Project Asik..."
Cula, Hamham, dan Hilman (Yogya), "Lontara Project! Sebuah bukti bahwa anakl muda itu peduli! Apa yang akan mati harus diselamatkan dan apa yang mati harus dihidupkan kembali. Tapi apa harus menunggu mati? Lontara Project adalah proyek percontohan konservasi budaya oleh anak muda. Setelah ini akan banyak lagi mereka, yang mengonservasi budaya mereka sendiri! What a fight! Sukses!"
Categories
Featured Lontara Project

Grand Launching Lontara Project 21.02.12

Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Kerja Sunyi Para Pejuang La Galigo

Jumat (10/02/11) lalu, Ahlul dan Ran – dua anggota tim Lontara Project, ditemani Eka, berkesempatan untuk menemui salah satu narasumber utama dalam proyek budaya kami, Prof. Nurhayati Rahman.

Memasuki gedung Pusat Studi La Galigo (PSLG) PKP Unhas, Ahlul dan Eka tercengang. PSLG tidaklah seperti yang ada di dalam benak mereka selama ini. Gedung berlantai lima yang sunyi dan tidak terawat, serta fasilitas yang membuat kening mereka berkerut, seakan menjadi saksi bisu diabaikannya La Galigo di tempat asalnya sendiri. Ratusan “ornamen alam” berupa sarang laba-laba, toilet yang tidak layak, dan plafon yang bocor menjadikan lift sebagai satu-satunya prasarana abad 20 yang kami temui di gedung tersebut.

Ketika datang, Prof. Nurhayati langsung mengajak kami masuk ke ruang tamu PSLG. Hanya ruangan itu yang memenuhi kelayakan untuk menerima para pendatang yang tertarik untuk mengetahui informasi tentang La Galigo. Kondisi Ruang Dokumentasi maupun Ruang Kerja Prof. Nurhayati sendiri begitu miris: kebocoran akibat air hujan menggerus langit-langitnya sehingga hampir jebol. Tentu saja hal ini begitu mengkhawatirkan, karena temperatur lembab jelas mempercepat tingkat kerusakan arsip-arsip La Galigo yang begitu langka dan beratus-ratus tahun usianya.

Kami memasuki Ruang Perpustakaan yang kosong dan hambar karena tiadanya aktifitas yang berarti lazimnya perpustakaan yang biasa kita jumpai. Selain dua orang karyawan Prof. Nurhayati yang bahkan digaji dari koceknya sendiri, tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan. Koridor panjang yang senyap, lebih mirip suasana film horor. Sungguh tempat ini kehilangan daya tariknya, padahal kata Prof. Nurhayati, dulu PSLG penuh dengan orang yang berbondong-bondong, bahkan rela mengantri, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Sekarang, lorong PSLG seolah mati. Disinilah kerja sunyi para pejuang La Galigo dilakukan, kerja sunyi yang mulia.

Kami ngeri mendengar latar belakang PSLG yang penuh intrik. Rupanya birokrasi kotor tak luput ikut campur dalam struktur PSLG yang awalnya diketuai oleh Prof. Nurhayati, namun seolah tak kasat mata, jabatan itu tiba-tiba berpindah tangan. Bukanlah sebuah rahasia, oknum-oknum berseragam gerah jika rekening mereka kosong. Mungkin PSLG dinilai terlalu dini untuk menelurkan keuntungan materi sehingga keberadaannya begitu terlantar. Belum lagi intervensi kaum kapitalis yang juga berusaha mengeruk rupiah dari kebesaran nama La Galigo di mata dunia, namun “membuang” orang-orang yang telah berjasa memperkenalkan warisan ini kepada mereka.

Bersama Prof. Nurhayati (duduk) dan Ibu Basiah (kiri)

Namun Prof. Nurhayati bersikeras pada pendiriannya untuk tetap idealis mempertahankan La Galigo agar tak tercemar kepentingan-kepentingan bisnis yang tidak sah. La Galigo selalu ada untuk mereka yang haus ilmu, bukan monster-monster bermata hijau dan silau karena uang. Ia selalu berharap, hal ini bisa diteruskan pada generasi muda yang sadar bahwa saatnya bangkit dan melawan doktrinisasi yang melanda bangsa pemilik jamrud khatulistiwa.

***

Bersama mahasiswa Sastra Daerah Angkatan 2010

Setelah waktu makan siang, kami diajak berkeliling melihat proses belajar mahasiswa Ilmu Budaya Unhas, khususnya angkatan 2010 yang bertempat di Laboratorium Naskah Fakultas Sastra Daerah Unhas. Setelah dijelaskan oleh Prof. Nurhayati, mereka tampak antusias mendengar pemaparan mendadak kami tentang Lontara Project. Apa yang mendasari terbentuknya gerakan ini dan apa saja yang dapat mereka lakukan sebagai bentuk konstribusi menyelamatkan La Galigo dari ambang kepunahan. Tentu dari pertemuan itu kami berharap Lontara Project menginspirasi para remaja untuk melakukan hal serupa. Toh, masih banyak potensi budaya yang perlu mereka angkat ke permukaan global, selain bangga dengan identitas mereka terlahir sebagai anak Indonesia.

They UPS! La Galigo! Bagaimana dengan kamu?