Sobat Lontara, batik yang dikenal sebagai warisan budaya Indonesia, seringkali dikaitkan dengan kebudayaan Jawa. Hal ini disebabkan karena sentra-sentra kerajinan batik terbaik di tanah air dapat ditemukan di pulau tersebut, seperti di Pekalongan, Lasem, Cirebon, Yogyakarta dan Surakarta. Namun demikian, sebuah penelitian pada tahun 2022 silam memberikan fakta yang mengejutkan. Sehelai kain batik yang didapuk sebagai tertua di Indonesia ternyata berasal dari Toraja.
Kata batik sebagai sebuah teknik dekoratif ataupun obyek tidak ditemukan di dalam sumber-sumber Jawa kuno yang melimpah. Para ahli berusaha merekonstruksi eksistensi batik di masa lalu lewat penafsiran kata tulis yang terdapat pada prasasti sima dari abad ke-12. Tulis yang berarti tulisan atau menggambar, berkaitan dengan teknik pembubuhan suatu pola pada kain dengan aplikasi warna. Namun kata batick justru pertama kali tercatat pada dokumen kapal dagang tahun 1641 yang berlayar dari Batavia menuju Bengkulu di pesisir barat Sumatra. Pada abad ke-18, kata batex digunakan oleh bangsa Eropa untuk menyebut kain katun putih berkualitas tinggi yang “dicat” dengan gaya lokal Jawa. Pada masa itu, batik diproduksi dengan bahan kain katun lokal, yang sering digunakan untuk membuat selendang atau penutup bahu. Batik mulai dikenal luas di luar Asia Tenggara setelah Stamford Raffles menulis tentang proses pembuatan batik dalam bukunya History of Java pada tahun 1817. Buku ini jadi titik awal batik mendapat perhatian dunia dan mulai banyak diteliti.
Selain di Indonesia, seni membatik juga dapat ditemukan di negeri jiran, Malaysia. Batik di Malaysia sendiri tumbuh lewat pengaruh hubungan perdagangan antara Kerajaan Melayu di Jambi dan kota-kota pesisir Jawa sejak abad ke-13. Batik Jawa dan batik Jambi inilah yang kemudian menjadi inspirasi dalam pengembangan kerajinan batik di Semenanjung Malaya. Hari ini, jika ditinjau baik dari segi teknik maupun ragam hias, batik Malaysia menunjukkan karakteristik yang amat berbeda dengan batik dari Pulau Jawa. Pada tahun 2009, batik diakui secara internasional sebagai Warisan Budaya Tak Benda dari Indonesia oleh UNESCO. Agar tidak disalahpahami, pengakuan ini diberikan bukan kepada batik sebagai benda, melainkan kepada seni proses pembuatan kain menggunakan teknik tertentu yang menghasilkan warna dan pola dekoratif khas.
Sepotong kain dari Toraja, Sulawesi Selatan, yang tersimpan di koleksi Thomas Murray di Amerika Serikat ternyata menjadi pintu kita untuk menelusuri batik di masa lalu. Kain berbentuk panjang dan sempit ini lazim disebut disebut dengan nama sarita, kain ritual yang sering digunakan dalam upacara adat Toraja. Dua orang peneliti, Sandra Sardjono dan Christopher Buckley dari Yayasan Tracing Patterns di Berkeley, California melakukan uji karbon (C-14) untuk mengetahui usia kain tersebut. Mereka memilih meneliti kain Toraja tersebut sebab kain itu menunjukkan jejak teknik batik pada desainnya.
Hasil uji karbon Sardjono dan Buckley memberikan dua kemungkinan rentang waktu yang mengejutkan: antara tahun 1277 dan 1308 M (dengan probabilitas 64%) serta antara tahun 1363 dan 1385 M (dengan probabilitas 31%). Dengan kata lain, kain ini kemungkinan ditenun pada akhir abad ke-13 hingga pertengahan abad ke-14. Selanjutnya, Sardjono dan Buckley menarik kesimpulan bahwa kain ini adalah salah satu batik tertua yang masih bertahan di Indonesia, serta bukti paling awal penggunaan teknik perintang lilin (wax-resist technique) di Asia Tenggara. Siapa sangka, kain batik tertua justru merupakan sebuah artefak dari Sulawesi Selatan.
Yang tak kalah menarik, desain pada kain tersebut menampilkan pasangan hewan yang saling berhadapan dengan ekor tegak dan jambul di kepala, mengapit struktur menyerupai candi bertingkat, meskipun hanya atapnya yang masih terlihat. Menurut Sardjono dan Buckley, motif kuno ini kemungkinan merupakan bagian dari tradisi Hindu-Buddha dalam menampilkan tekstil pada arsitektur sakral. Motif-motifnya menunjukkan pola yang mirip dengan pola-pola pada kain ikat dan batik di Sumatra, Jawa, dan Bali. Asal-usul desain ini masih belum diketahui dengan pasti; bisa jadi merupakan kreasi asli masyarakat Indonesia atau mungkin terinspirasi oleh kain impor asal India.
Berdasarkan temuan-temuan di atas, Sardjono dan Buckley menyimpulkan bahwa meskipun batik ini ditemukan di Toraja, ada kemungkinan besar bahwa kain ini berasal dari Jawa atau setidaknya mendapat pengaruh dari tradisi tekstil Jawa pada masa Majapahit. Keberadaannya di Toraja bisa jadi disebabkan oleh jaringan perdagangan. Kain ini memperkuat hipotesis bahwa teknik batik telah berkembang lebih awal dari yang selama ini diduga dan bahwa Majapahit memainkan peran penting dalam penyebaran tekstil di Nusantara. Posisi kain ini sebagai barang pusaka yang diwariskan turun-temurun di Toraja pun tak kalah signifikan. Kebudayaan Toraja menjadi kunci penting yang mengabadikan batik yang tidak lagi dapat ditemukan di Pulau Jawa selama ratusan tahun lamanya.
Temuan ini membuka wawasan baru tentang sejarah dan perkembangan batik di Indonesia, serta memperkaya pemahaman kita tentang keragaman budaya tekstil di Nusantara. Secara keseluruhan, penelitian Sardjono dan Buckley menantang narasi konvensional tentang asal-usul batik dan membuka peluang untuk penelusuran-penelusuran lebih lanjut lainnya mengenai perkembangan dan penyebaran teknik tekstil di Asia Tenggara.
Referensi:
Sandra Sardjono & Christopher Buckely, A 700-years old blue and white batik from Indonesia, https://fltjournal.libraryhost.com/index.php/flt/article/view/7/6?fbclid=IwAR3YiOUn6YOQGiIsyfSqQ7X7nGg_KIuu6QvLhigDYT9jow0xIov6KMtdulU
National Geographic Traveller Indonesia, Vol 1, No 6, 2009, Jakarta, Indonesia.