Categories
101 La Galigo Featured Galigoku Liputan

Kebangkitan kedua I La Galigo di Kampung Buku, Makassar

Penulis: Muhammad Ulil Ahsan (Peneliti Pangan dan Budaya)

Membicarakan I La Galigo memang tidak pernah ada habisnya. Epos terpanjang di dunia yang telah diakui UNESCO sebagai Memory of the World ini selalu menyimpan daya tarik, penuh intrik, dan inspirasi. Namun, di balik kemunculannya, ada sosok-sosok cendekiawanyang merawat ingatan tersebut, mencatat dan mendokumentasikan 120.000 baris puisi yang begitu indah. Mereka adalah Benjamin Franklin Matthes dan Colliq Pujie.

Matthes adalah seorang ahli bahasa yang diutus ke Sulawesi Selatan dengan misi memahamibudaya setempat dan menerjemahkan Injil ke dalam bahasa mereka. Dalam perjalanannya, iabertemu dengan seorang putri Tanete yang diasingkan ke Makassar, Colliq Pujie. Matthes kemudian menawarkan kerja sama kepada Colliq Pujie, seorang tahanan politik, untukmembantunya mengumpulkan potongan-potongan cerita rakyat yang tersebar luas di masyarakat Sulawesi Selatan. Selama dua dekade, mereka bekerja sama hingga lahirlahmanuskrip megah yang tak kalah agung dari Mahabharata di India dan sajak-sajak Homerus dari Yunani.

Selama ini, ketika berbicara tentang I La Galigo, kita lebih sering terpukau dengan kisahturunnya Batara Guru atau perjalanan Sawerigading dalam mencari cinta. Namun, sedikityang mengetahui bagaimana kisah ini pertama kali dicatat dan bagaimana dua cendekiawanini memastikan warisan budaya ini tetap hidup hingga sekarang.

Senin, 24 Maret 2005, kami beruntung menghadiri diskusi novel “Matthes” karya Alan TH di Kampung Buku, Makassar. Novel ini mengisahkan perjalanan hidupBenjamin Franklin Matthes, penerjemah Injil yang bertemu dengan Putri Tanete. Sebuahkisah yang membawa kita lebih dekat ke balik layar lahirnya I La Galigo.

Masyarakat Bugis-Makassar patut berbahagia dengan lahirnya novel Matthes, karya Alan TH—sosok yang bisa jadi lebih Bugis dari orang Bugis sendiri. Menurut Anwar Jimpe Rahman,tuan rumah sekaligus pembahas dalam acara ini, novel ini menandai kebangkitan kedua I La Galigo, setelah kebangkitan pertamanya melalui Seminar dan Festival Internasional I La Galigo di Kabupaten Barru di tahun 2002. Sejak saat itu, epos ini menjadi perbincangan, tidak hanya di ruang-ruang akademis, tetapi juga di berbagai dokumenter, warung kopi, hingga pementasan internasional.

Bagi Alan, “Buku akan menemukan takdirnya sendiri, dan seringkali antara penulis dan karyanya memiliki takdir yang berbeda.” Ia mencontohkan Pramoedya Ananta Toer, yang memiliki nasib tragis, sementara karyanya tetap menyala. Alan tidak berekspektasi lebih; iamembiarkan novelnya menemukan pembaca yang akan menjadikannya bagian dari sejarah. Baginya, karya yang bagus itu tidak disiapkan untuk merebut ruang, tapi yang tahanmenghadapi ujian waktu. Karya yang bagus mungkin tidak banyak dibaca hari ini, bisa jadidi lima, sepuluh, atau dua puluh tahun kemudian baru akan ramai dibaca.

Tim La Galigo Music Project didampingi Sirtjo Koolhof saat mengunjungi Perpustakaan Universiteit Leiden untuk melihat langsung koleksi naskah La Galigo pada bulan Desember 2013

Novel Matthes: Kepingan Puzzle Sejarah

Novel Matthes mengungkap siapa sebenarnya Benjamin Franklin Matthes, bagaimana latarbelakangnya, serta apa yang membawanya jauh ke Hindia kala itu, tepatnya di Celebes Selatan. Dengan ketekunan dan pergolakan batinnya, ia akhirnya bertemu Colliq Pujie, rekanintelektualnya dalam perantauan. Kisah mereka yang pelik dan penuh perjuangan menjadiinti dari novel ini.

Teringat pada Desember 2013, 12 tahun silam, tim Lontara Project ditemani Sirtjo Koolhof, seorang peneliti kebudayaan Bugis di Leiden, mengunjungi makam Matthes di pemakamanumum di Den Haag. Saat itu, tak banyak yang kami ketahui tentang sosok di balik nisanhitam bertinta keemasan tersebut. Bagaimana mungkin seorang Belanda yang namanyajarang terdengar justru menjadi sosok paling penting dalam menghidupkan “kitab suci” masyarakat Bugis-Makassar ini melalui pencatatan Panjang kisah I La Galigo hingga dikenaldunia saat ini?

Novel ini seperti kepingan puzzle yang melengkapi cerita tentang Matthes dan bagaimana iamenyalin epos besar ini. Novel Matthes akan menjadi bagian dari sebuah trilogi, ataumungkin lebih. Alan bahkan telah menyelesaikan sekuel keduanya, Colliq Pujie, yang akansegera hadir di rak-rak buku bulan depan. Jika novel Matthes berfokus pada konteks dan pergolakan kehidupan Matthes, maka Novel Colliq Pujie akan mengupas perjalananpencatatan I La Galigo dari perspektif sang putri Tanete. Sekuel ketiga pun sedang digarap, semakin menambah rasa penasaran kita akan kisah-kisah penting ini.

Pada acara diskusi tersebut, Rezky Ramadhani (Dosen Sastra Inggris Unhas) menilai novel ini menggugah semangatnya untuk lebih memahami I La Galigo dan kesusasteraan Sulawesi Selatan yang selama ini lebih banyak menggeluti sastra Inggris seperti cerita Yunani, Shakespeare, dan kisah-kisah lainnya. Kisah I La Galigo tidak kalah menariknya, tercermin dari novel Matthes ini.

Rahmat Komaruddin, moderator sekaligus seorang aktivis muda pengurus pusat TIDAR yang konsen pada isu-isu kebudayaan, ikut pula memberikan pandangan bahwa para politisi harusnya mampu lebih banyak membaca, belajar, dan memahami kebudayaan-kebudayaan local untuk mendapatkan hikmah, pembelajaran, dan kebijaksanaan di dalamnya. Termasuk I La Galigo ini.

Alan TH mungkin besar sebagai orang Sunda, tetapi dalam pencariannya terhadap sejarah, iatelah menjadi orang dari Bugis. Dengan riset mendalam dan ketekunan luar biasa, ia melahirkan karya monumental yang menandai kebangkitan kedua I La Galigo. Semoga novel-novel ini mampu menembus batas waktu, menemukan pembaca-pembacanya, dan menginspirasi kebangkitan-kebangkitan I La Galigo berikutnya sehingga dapat memahatsebuah peradaban yang besar di masa depan.