Categories
Cerita Silat Bersambung Featured Galigoku

Cerita Silat Bersambung “Lompat Kiri Tampar Kanan” Episode IX – Tutup

Ulasan Tradisi Silat: Urut Lengan / Badan

Urut mungkin sudah dikenal oleh khalayak umum sebagai salah satu bentuk pengobatan alternatif, khususnya untuk cidera otot dan atau tulang. Sedangkan dalam tradisi pencak silat, ketika seorang murid itu diurut, itu adalah satu titik dimana bagian badan atau badan murid itu disesuaikan oleh sang guru agar sang murid lebih siap dalam menerima gemblengan fisik, dan bentuk-bentuk latihan yang dikhususkan dalam aliran silat itu. Ada pula beberapa aliran silat dan beberapa guru yang mengurut bagian tubuh tertentu, atau bahkan seluruh tubuh muridnya, dan mengubah struktur otot dan tulang si pesilat (prosesnya luar biasa menyakitkan… Tentunya akan dibahas dalam episode-episode selanjutnya!).

Dalam silat aliran Tunggal Rasa, bagian tubuh yang sangat diperhatikan adalah lengan sang pesilat. Contoh yang dapat diambil adalah lengan Bang Aeb dan lengan Mas Ka. Lengan mereka memang terlihat jelas sebagai sepasang lengan yang kuat (definisi ototnya terlihat jelas), tetapi lengan mereka sangatlah luwes, ringat, dan cepat.

Dipercaya juga dalam proses urut ini, tubuh si pesilat akan ‘disetel’ ulang dan dibersihkan oleh sang guru dari segala hal yang ‘tidak alami’. Apakah hal-hal yang ‘tidak alami’ ini? Tentunya akan dibahas di episode-episode yang akan datang (hehe).

Baiklah, mari kita lanjutkan ceritanya.

Bab VIII: Latihan di Dapur

Sensasi bola mata yang terbakar sewaktu dikecer itu tidak hilang bahkan setelah keceran ketiga dan keempat. Tidak terasa waktu berlalu, gua sudah melewati 4 kali ujian, dan 4 kali keceran dan urut. Kurang lebih sudah 5 tahun gua berlatih bersama Mas Ka, dan gua sudah belajar banyak sekali jurus.

Tetapi, itulah kesalahan gua sewaktu masih sangat muda dan bodoh, ketika merasa bisa, langsung tinggi hatinya.

Di titik ini, latihan bersama Mas Ka bisa bertahan sampai 3 jam, atau lebih. Bentuk latihan pun semakin beragam, latihan jurus sembari lengan diikat oleh beban, bergerak diatas tatakan balok kayu tanpa terjatuh, dan banyak jenis latihan lainnya yang dengan mudah gua jalani.

Sampai pada satu sore, dimana Mas Ka mengajak gua masuk ke dalam dapur.

“Mas, kita mau masak?” Tanya gua dengan lugunya,

Terkekeh kecil, Mas Ka menjawab dengan kalem: “Hari ini kita latihan disini. Hehe”

Gua tercengan heran, dan dengan cepat gua menanggapi: “Ah yang bener Mas, kan ini dapur! Kita kalau latihan nanti berantakan, panci jatuh lah, kesenggol kompor kan enggak lucu!”

“Put, jaman dulu ya, pendekar-pendekar itu enggak boleh kelihatan kalau lagi latihan silat. Nanti mereka ditangkap kumpeni (Belanda), terus dipenjara. Ini kita mau coba telusurin sejarah silat sekalian eksperimen kalau kamu bisa enggak gerak di tempat sempit hehe.”

Bayangkan saja, dapur belakang rumah Mas Ka itu kecil, dan sangat sempit. Lebar jarak yang bisa dilewati orang itu kurang lebih 5 jengkal tangan orang dewasa, itu pun sudah terhalangi karena ada ubin yang adalah tempat kompor diletakkan.  Mungkin lain halnya dengan dapur pada zaman penjajahan Belanda, masih cukup luas untuk menaruh beberapa tungku tembikar,  dandang beras, dan tumbukkan padi yang kecil.

Susah sekali bergerak, untuk masuk saja sudah harus memperhatikan langkah agar tidka menyenggol peralatan dapur, piring, pisau, dan masih banyak lagi. Mas Ka tiba – tiba memasang posisi siap sambut,

“Put, kita langsung ya latihannya. Tantangannya adalah kamu tidak boleh sampai menyenggol atau merusak peralatan dapur. Nanti aku dimarahain orang rumah juga hahaha.”

“Tapi Mas… “

Belum selesai gua menyusun kalimat, tiba-tiba Mas Ka melancarkan serangan ke arah muka. Gua kaget, badan gua refleks langsung berkelit, kepala menggeser sedikit ke kiri. Kepalan Mas Ka gua tepis ke samping dengan telapak kiri, dan gua balas serangan Mas Ka dengan totokan kearah lengan Mas ka dengan tangan kanan.

Gua berusaha bergerak maju sembari melancarkan serangan, namun ruangan sangat sempit. Gerakan gua terhambat karung beras yang tergeletak di lantai dapur, gua terpaksa menahan langkah kaki, dan dengan itu, lupa dengan serangan yang gua arahkan ke lengan Mas Ka. Pergelangan gua dirambet, Mas Ka menyentak lengan gua, gua tersandung karung beras yang tak berdosa itu. Keseimbangan gua hilang, dan gua bisa merasakan kalau gua akan terjatuh kedepan.

Dengan  gerakan yang cekatan, Mas Ka melangkah kecil kedepan, dan menangkap badan gua.

“Nah! Hampir aja kamu jatuh!” Kata Mas Ka

“Iya nih Mas… Aduh… Susah ya gerak di tempat sempit.” Gua berusah berdiri tegak dan mengembalikan keseimbangan gua.

Mas Ka pun tersenyum, beliau menjelaskan: “Itulah inti dari latihan kita hari ini Put, untuk bisa bersilat di tempat yang sempit. Dulu kan leluhur kita juga latihan di dapur, di ruang tamu, bahkan di bawah meja Put. Ini semua upaya mereka untuk menjaga kondisi tubuh, dan ketajaman ilmu mereka tanpa harus terlihat banyak orang. Apalagi kan dulu resiko mereka ditangkap pasukan Belanda, lebih gawat lagi Put.”

Gua menanggapi, “Mas, tapi aku rasa Mas Ka mau ngajarin aku lebih dari sekedar bisa gerak di tempat sempit Mas.”

Mas Ka pun menyahut, “YAP! Benar Sekali kamu Put! Hyeh hyeeh. Filosofi dari latihan kita hari ini adalah: Kamu harus bisa bergerak dalam kondisi apapun. Tidak ada yang boleh membatasi kamu. Dalam situasi apapun, sesempit apapun ruangan, se-susah apapun melangkah, kamu harus tetap bisa bergerak. Ini aplikasinya tidak hanya dalam bersilat ya Put, tetapi juga dalam hidup.”

Gua terdiam.

“Put! Jangan bengong!” Mas Ka menegur gua, beliau melancarkan satu serangan lagi kearah pundak gua.

“Eeets Mas!” Gua meng-egos pundak gua, dan membalas serangan Mas Ka.

Latihan di dapur itu berlangsung sekitar satu jam. Kami berhenti latihan ketika Ibunda dari Mas Ka (gua memanggilnya ‘Bude’), hendak menggunakan dapur untuk memasak.

Latihan Silat Mas Ka dan Raka

Bab IX: Tutupan

Di suatu Sabtu sore, gua dan Mas Ka sedang berjalan mengelilingi kompleks rumah. Kami memang suka mengobrol, dan jalan – jalan sore ini juga kesempatan untuk menghangatkan badan sebelum latihan. Disaat yang seru sedang berbincang mengenai penerbitan kembali komik Si Buta Dari Gua Hantu, Mas Ka memotong topik dengan memulai satu topik baru:

“Put, kan kamu sudah lumayan lama nih latihan sama aku…”

“Iya Mas, sudah lewat 5 tahun. Enggak kerasa ya mas!”

“Hehehe, iya Put. Kayaknya kamu sudah siap deh aku kasih langkah tutupan nya silat Tunggal Rasa.”

Gua kaget. Mendengar ‘Langkah tutup’, itu berarti siap untuk menerima jurus / langkah silat aliran ini secara lengkap. Berarti, Mas Ka menganggap gua sudah cukup umur dan cukup dewasa untuk tamat jurus!

Nah, selingan sejenak!

 

Ulasan Tradisi Silat: “Tutup”

“Tutupan” atau “Langkah Tutup” adalah sebutkan bagi jurus – jurus akhir. Sebutan ini biasa digunakan oleh perguruan dan kelompok – kelompok Silat Betawi. Filosofinya? Cukup sederhana, apa yang dimulai, ya harus diselesaikan. Apa yang dibuka, haruslah ditutup. Keseimbangan.

Kembali ke pembicaraan gua dan Mas Ka…

Mas Ka pun melanjutkan,

“Put, disini nanti kamu aku ajarin langkah – langkah inti dari Tunggal Rasa: Langkah lima, empat penjuru, susun sirih, kelabang nyeb’rang, dan merak ngigel. Dalam latihan ini semua, kamu tidak boleh stop latihan lho Put. Itu saja Syaratnya. Langkah – langkah ini harus dilatih semua dalam satu rangkaian, dan kamu harus komitmen dalam sebulan atau dua, kamu tidak boleh berhenti berlatih rangkaian itu.

Dengan lugunya gua bertanya. “Kenapa kok gitu mas? Ini ada ilmu apa yang bakalan ditransfer ke aku? Kok Syaratnya aneh banget?”

Mas Ka terbahak – bahak mendengar Pernyataan bodoh gua.

“HUAHAHAHAHA Put, kadang –kadang kamu tuh menghayal terlalu jauh ya. Silat betawi tuh enggak banyak yang ilmu – ilmu isian gitu, walaupun ada yang melatih dan ‘diisi’ ilmu –ilmu tertentu begitu, aku enggak mau kamu latihan begituan Put. Papamu juga sudah pesan pas kamu mau mulai latihan sama aku.”

Makin penasaran, gua bertanya lagi hal yang bodoh,

“Wah! Memang ada ilmu – ilmu kayak apa mas?? Kok aku enggak boleh diajarin sih?”

Mas Ka tersenyum dan menepuk pundak gua,

“Put, kamu mau bisa mukul orang sekali, terus orang itu langsung mati? Kamu mau bisa kebal kalau dibacok? Terus gunanya apa kalau bisa itu semua?”

“Kan keren mas bisa begitu!”

“Put, kamu belajar silat itu karena kamu mau belajar jadi orang baik. Inget tuh.”

“Tapi kan asyik mas kalau bisa jadi orang baik DAN sakti!”

Mas Ka terkekeh, dan gua bisa merasakan bobot keseriusan di nada suaranya ketika beliau berkata: “Bayarannya berat Put.”

Tanpa mengerti penuh jawaban Mas Ka, gua merinding. Kata – kata itu terngiang di kepala gua sampai sekarang.

BERSAMBUNG…

Raka Siga Panji Pradsmadji adalah sulung dari dua bersaudara. Terlahir di Jakarta, bankir muda berdarah campuran Jawa dan Manado ini merupakan alumni dari program pertukaran pelajar Youth Exchange and Study (YES) ke Amerika Serikat tahun 2007-2008. Lulusan Unisadhuguna International College dan Northumbria University ini amat mencintai keberagaman budaya Indonesia; mulai dari wayang, silat, makanan tradisional, bahkan hingga aliran kebatinannya.

Categories
Cerita Silat Bersambung Galigoku

Cerita Silat Bersambung: “Lompat Kiri Tampar Kanan” Episode VIII – “Keceran”

Bab VII Bagian 2: Ujian – Keceran

Setelah semua prosesi pengujian pengetahuan ilmu oleh Mas Ka dan Bang Aeb selesai,  kami para peserta ujian diminta untuk menunggu. Mas Ka memberitahu kami apa yang akan terjadi selanjutnya: “Nanti nama kalian dipanggil satu-satu,  kalian bakal diurut dan dikecerin ya.”

Secara serentak, kami menjawab “Oke Mas” … Tanpa mengetahui penuh apa itu arti “dikecerin”.

Ulasan Tradisi Silat: Keceran 

Nah, mari kita ulas bersama apa itu “Kecer”/“Keceran”.  Keceran adalah satu tradisi dan prosesi yang cukup umum di aliran pencak silat Betawi dan Jawa Barat. Kegiatan ini biasanya dilakukan ketika penerimaan anggota/murid baru ke dalam perguruan, atau ketika sang murid ini menamatkan satu tahap dalam pembelajarannya.

Sebelum kawan-kawan pembaca berpikir diluar konteks dan berpersepsi yang kurang sesuai, kecer ini merupakan ritual tersendiri. Ritual disini berarti tradisi, kegiatan yang biasa dilakukan dalam titik tertentu dan hanya dilakukan di acara-acara tertentu. Dalam konteks ini, ritual kecer ini dilakukan ketika seseorang diterima sebagai ‘murid’ di perguruan silat A, atau ketika sang murid sudah menamatkan jurus A.

Kecer ini hanya boleh dilakukan oleh sang guru, lebih spesifik lagi, sang pemegang / pewaris ilmu. Apakah yang dilakukan sewaktu seorang murid itu ‘dikecerin’? Sederhananya, ini proses tetes mata.

Dalam perguruan Tunggal Rasa, Keceran ini dilakukan oleh Bang Aeb kepada murid-murid. Apakah yang dibutuhkan untuk melakukan keceran?  Pada beberapa perguruan lain, yang saya tahu, dibutuhkan berhelai-helai daun sirih dan air yang diambil dari mata air X. Di Perguruan Tunggal Rasa, yang dibutuhkan adalah: buah jeruk purut. Buah jeruk purut ini nantinya akan dibelah, dan sarinya diteteskan ke mata para murid.

Apakah makna dibalik tradisi “Keceran” ini? Ketika ditanyakan kepada Mas Ka dan  Bang Aeb, kesimpulan yang bisa ditarik adalah: “Keceran ini pembersihan. Kenapa mata kamu yang dikecer? Supaya pandangan kamu bersih, penglihatanmu jelas. Supaya kamu bisa melihat dengan jelas gerakan-gerakan lawan, dan awas akan sekitarmu.” Selain itu, dipercaya juga bahwa kandungan asam di jeruk purut yang digunakan ini bisa membersihkan kotoran-kotoran mata.

Jadi, Keceran ini merupakan ritual pembersihan dan atau penerimaan anggota baru dalam satu perguruan.

Untuk melihat prosesnya bagaimana,  mari kita lanjutkan ceritanya…

Setelah menunggu sekitar 15 menit, akhirnya nama gua dipanggil. Gua masuk kedalam ruang dimana gua diuji tadi, dan terlihat Bang Aeb sudah berganti pakaian. Beliau duduk bersila, menggunakan baju koko putih. Di hadapan beliau ada sebuah matras, dan disamping beliau ada tiga mangkuk. Satu mangkuk berisi telur, satu mangkuk diisi beberapa buah jeruk purut yang sudah dibelah-belah, dan satu mangkuk kosong. Beliau tersenyum, dan melambaikan tangannya menandakan gua untuk berbaring.

Gua makin penasaran akan apa yang akan terjadi dalam beberapa menit kedepan. Gua berbaring, dan Bang Aeb memecah keheningan: “Putra, ini kan keceran pertamamu… Mungkin rasanya akan pedes di mata, tapi pasti besok pagi segar lagi kok. Sekarang, kamu berdoa kepada Tuhan, meminta berkat dan restu kalau kamu lagi belajar Silat ya… Tarik napas yang dalam sambil berdoa… Ditahan ya…”

Dan MAKCLEEESS…. Tetesan pertama sari jeruk purut membakar bola mata kiri gua. Secara refleks air mata langsung membanjiri memadamkan api yang membara (ibaratnya) bola mata kiri dan memejamkan mata kiri itu. Ketika mata kiri terpejam, CEESSSS…. masuk pula tetesan kedua di bola mata kanan gua.

Panas rasanya, kalau kawan-kawan yang membaca masih ingat rasanya waktu kita mandi dan shampo masuk kemata? Nah itu silahkan dikali 8 pedihnya. Sembari banjir air mata, gua merasakan jari-jemari Bang Aeb memijat sekitar mata gua. “Pedeeess… Eh kok enak juga ya dipijetin begini… hmmm…” Pikir gua.

Berangsur-angsur pedihnya berkurang, dan gua disuruh duduk menghadap beliau. Gua lakukan sambil meraba-raba, dan akhirnya bisa duduk bersila tegap berhadapan dengan Bang Aeb.

“Put, coba sini lenganmu, digulung dulu itu bajunya.” Perintah beliau. Gua melakukan sesuai dengan perintah, dan beliau mengambil mangkuk kosong tadi, memecah beberapa butir telur, menyisihkan putihnya dan dituangkan ke mangkuk kosong itu.  Bang Aeb juga mengambil beberapa jeruk purut yang sudah habis digunakan untuk kecer, dan mencampur biang jeruk itu dengan putih telur yang sudah dituang.

Selanjutnya, beliau menempelkan telapak tangannya, dan mengoleskan campuran itu ke lengan gua sambil memijatnya.

“Nah Put, ini namanya ngurut ya…”

 

BERSAMBUNG…

 

Raka Siga Panji Pradsmadji adalah sulung dari dua bersaudara. Terlahir di Jakarta, bankir muda berdarah campuran Jawa dan Manado ini merupakan alumni dari program pertukaran pelajar Youth Exchange and Study (YES) ke Amerika Serikat tahun 2007-2008. Lulusan Unisadhuguna International College dan Northumbria University ini amat mencintai keberagaman budaya Indonesia; mulai dari wayang, silat, makanan tradisional, bahkan hingga aliran kebatinannya.

Categories
Cerita Silat Bersambung Galigoku

Cerita Silat Bersambung: “Lompat Kiri Tampar Kanan” Episode VII – “Ujian”

Ulasan Singkat tentang Tokoh dan Aliran 1: Bang Suaeb dan Tunggal Rasa

Selingan sejenak mengenai tokoh Silat kita kali ini, Bang Suaeb atau lebih akrab dipanggil “Bang Aeb”. Bang Aeb ini adalah salah satu dari tiga pewaris inti untuk aliran pencak silat Tunggal Rasa Satu Slag. Bang Aeb ini mendalami aspek pencak silat dari gurunya, Alm. Mbah Umar Sidik Madehir. Silat ini memiliki 2 inti (yang saya ketahui dan sempat saksikan): Sabeni dan Ki Ontong. Sabeni sendiri adalah inti aplikasi langkah-langkah Tunggal Rasa, di situlah rahasia-rahasia dan detil-detil gerakan mematikan dari langkah-langkah sederhana Tunggal Rasa diungkapkan. Untuk diskusi lebih lengkap tentang aliran ini, bisa teman-teman baca di: http://sahabatsilat.com/forum/aliran-pencak-silat/silat-gerak-rasa/180/

 Tunggal Rasa Satu Slag ini memiliki ciri khas yang bisa diringkas menjadi: maju, maju, dan maju. Tunggal Rasa ini berlambang Pohon Kelapa, dengan filosofi “Berguna seperti Pohon Kelapa.”

Nah, dengan itu, mari kita ulas secara singkat. Kita mulai dari filosofi “Satu Slag”. Satu Slag ini sebenarnya arah dan sifat langkah-langkah Silat Tunggal Rasa yang seperti namanya, bersifat satu arah. Arah itu adalah maju ke depan. Ketika gua mengobrol lama dengan Mas Ka tentang filosofi silat ini, beliau berkata: “Ya begitulah hidup, kalau kita enggak maju, ya mau kemana dong?  Masa’ mundur? Ini tuh sebenarnya mindset yang mau aku bangun di generasi muda, ya anak-anak penerus bangsa ini yang berani maju.”

Dari sisi langkah, gerakan-gerakan silat Tunggal Rasa itu juga hanya mengenal empat penjuru, dan empat penjuru itu hanya satu arah: ke depan. Apakah maju ke samping kanan atau kiri (serong), berbalik badan dan mengejar musuh, intinya adalah maju pantang mundur.

Selanjutnya, tentang Pohon Kelapa. Pohon kelapa itu dari batang, daun, hingga buahnya itu berguna. Pesilat-pesilat penganut aliran Tunggal Rasa ini diharapkan bisa mejadi seperti Pohon Kelapa: Kokoh, tahan cuaca (cobaan), dan  berguna bagi lingkungannya.

 

Kembali ke cerita ya…. Settingnya adalah ketika gua mau mulai diuji:

“Oh… Oke mas. Aku usahakan.”

Setengah jam pertama gua diminta untuk menunjukkan langkah-langkah yang gua sudah pelajari, dan gua senang semuanya berjalan cukup lancar terkecuali beberapa komentar dari Bang Aeb yang berkisar: “Put, kuda-kudanya kurang mantep nih.” Atau “Put! Pukul yang bener dong!”

Setelah badan sudah hangat karena banyak bergerak langkah-langkah Silat, datanglah momen yang paling gua antisipasi: Sambut.

Dengan suaranya yang cenderung bernada girang, Bang Aeb memanggil gua: “Put, sini Put! Main-main yuk sama Pakde!”

“Eh… Iya Pakde…” Suara gua parau dan gugup, gua pun menghampiri Bang Aeb.

Dari posturnya yang cenderung pendek, aliran silat ini cocok sekali dengan orang seperti Bang Aeb. Karena fokusnya adalah pertarungan jarak sangat dekat (diukur dari panjang lengan, dan jarak Tunggal Rasa ini adalah ‘satu lengan’ dan ‘setengah lengan’ atau ‘satu hasta’), dan kuda-kuda yang rendah dimanfaatkan sebagai ‘pegas’ untuk melontarkan tenaga.

Lengan dan jari-jemari Bang Aeb terlihat tebal dan luwes. Yang terlintas di pikiran gua adalah “membahayakan” walaupun Bang Aeb ini orangnya suka bercanda dan sumringah. Ada satu hal juga yang gua perhatikan dari Bang Aeb ini dari sorot matanya yang tajam: beliau jarang sekali mengedipkan mata.

Gua pun memasang sikap siap, Bang Aeb langsung berkomentar: “Nah, ini kamu mantep kuda-kudanya. Ayo, enggak usah malu-malu, serang pakde dong” nada beliau mengundang dengan manja (iya, manja. Minta dipukul secara manja).

Gua melirik Mas Ka yang berdiri dibelakang beliau, Mas Ka mengangguk tanda gua harus serius. Gua pun melancarkan serangan.

Pukulan gua dirambet, dibalas dengan sikutan. Sikutan itu gua tepis, dan dengan cekatan, tangan yang gua gunakan untuk menepis sudah dirambet lagi. Gua membalas dengan menepis rambetan itu dan mencoba melangkah maju untuk melancarkan pukulan lagi, beliau menangkis dengan kepretan, tangan gua mendadak terasa pedih.

Bang Aeb pun membalas dengan melangkah maju, totokkan demi totokkan beliau lontarkan, dan dari tiga totokkan, satu berhasil mendarat disendi antara lengan dan bahu gua. Ngilu!  Gua menahan rintihan sakit, gua membalas dengan beberapa pukulan, dan hanya satu yang berhasil mendarat di dada beliau (itu pun sepertinya satu pukulan yang secara sukarela beliau beri). Satu lagi pukulan gua lancarkan, dan beliau berkata sembari bergerak:

“Ini dia si monyet! Aku kancing!” Beliau melangkah diantara langkah maju gua, mengaitkan kakinya di belakang tumit gua.

“Aku iket!” Sikut gua mendadak dikunci, dan lengan beliau menutup bahu gua, gua terjepit.

“Aku korek si monyet!” Beliau menyapu kaki gua yang tadi sempat terkunci, menarik lengannya sembari mendorong dada gua, dan BRUK! Gua terjatuh dan terkapar di lantai.

Gua geram, gua segera bangun, “Eh, boleh juga nih si Putra.” Bang Aeb terkekeh, gua makin geram, dan gua lancarkan tendangan… Dan disitulah kesalahan gua.

Dengan gerakan yang luwes, beliau menyambut kaki gua dengan ramah, menyampingkan tubuhnya, mengayunkan tangannya, dan berhasil menangkap tumit gua, dan wes! Diayunkan kaki gua keatas, dan… GUBRAK. Gua jatuh lagi.

 

BERSAMBUNG…

Raka Siga Panji Pradsmadji adalah sulung dari dua bersaudara. Terlahir di Jakarta, bankir muda berdarah campuran Jawa dan Manado ini merupakan alumni dari program pertukaran pelajar Youth Exchange and Study (YES) ke Amerika Serikat tahun 2007-2008. Lulusan Unisadhuguna International College dan Northumbria University ini amat mencintai keberagaman budaya Indonesia; mulai dari wayang, silat, makanan tradisional, bahkan hingga aliran kebatinannya.