Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Di Oegstgeest ada Kampong Makassar

Sebuah kotamadya kecil di selatan Leiden menyimpan sebuah sejarah menarik yang berhubungan dengan nama Makassar. Oegstgeest yang luasnya mencakup area sekitar 8 kilometer dan berpenduduk 23.000 jiwa ini di kalangan masyarakat Indonesia di kota Leiden hanya dikenal sebagai suburb semata. Mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang mencari tempat tinggal murah atau yang jaraknya tidak terlalu jauh dari stasiun kereta api Leiden banyak yang memilih untuk tinggal di kota ini. Dengan bersepeda selama 10 hingga 15 menit pusat kota Leiden sudah dapat dicapai dari Oegstgeest. Dulunya sebelum diadakan perluasan, sebahagian wilayah Oegstgeest merupakan bagian dari kota Leiden. Mulai tahun 1920, beberapa daerah yang seharusnya menjadi bagian kota Leiden “dicaplok” secara administratif oleh Oegstgeest.

Nah, Sobat Lontara, sebuah peta topografi kota Leiden tahun 1871 ternyata menyelipkan nama “Kampong Makassar” di wilayah Oegstgeest. Kampong Makassar ini bukanlah nama sebuah daerah melainkan nama gedung yang berdiri sejak tahun 1854. Berlokasi di antara Hooge Moorschweg dan Galgewater, Kampong Makassar merupakan sebuah hunian mewah milik keluarga Wiggers van Kerchem. Siapakah beliau dan mengapa rumah tersebut ia beri nama “Kampong Makassar”?

Wiggers van Kerchem lahir di kota Hoorn pada tahun 1825. Ia merintis karirnya sebagai partner di firma dagang Tiedeman en Van Kerchem di Hindia Belanda. Ia juga merupakan pendiri dari Nederlandsch-Indie Escompto Maatschappij yang merupakan bank komersil modern pertama di tengah geliat Cultuurstelsel alias sistem tanam paksa di Hindia Belanda. Prestasi-prestasinya tersebut membuat ia melejit ke golongan kelas atas Eropa di Batavia. Sebelum akhirnya memutuskan untuk pensiun dan kembali ke Belanda, Wiggers van Kerchem juga pernah menjabat sebagai President van Javaasche Bank yang kira-kira hari ini setara dengan Gubernur Bank Indonesia.

Selama tinggal di Batavia, Van Kerchem memiliki sebuah rumah besar di daerah Meester Cornelis (Jatinegara sekarang). Rumah hunian itu ia beri nama Kampong Makassar, berhubung lokasinya berada di pemukiman Makasar. Makasar yang hari ini merupakan nama sebuah kecamatan di daerah Jakarta Timur dulunya merupakan tempat dimana prajurit-prajurit Makassar setelah kejatuhan kerajaan Gowa di abad ke-17 bertempat tinggal. Mereka diberi tempat di wilayah tersebut oleh gubernur jenderal Hindia Belanda sebagai tawanan perang. Kelak salah satu anak perempuan dari Daeng Matara, pemimpin pasukan asal Makassar tersebut, menikah dengan Pangeran Purbaya dari kesultanan Banten dan menguasai tanah di daerah Condet, sebelah barat kampung Makasar.

Van Kerchem yang ternyata belum bisa move on dari masa-masa kejayaannya di Hindia Belanda kemudian membeli sebuah tanah di Oegstgeest yang dulunya milik seorang bangsawan bernama Pieter Hendrik Baron Taets van Amerongen tot Natewisch. Sebuah rumah ia bangun di atasnya dan ia beri nama Kampong Makassar untuk mengenang kembali saat-saat membahagiakan di Hindia. Kampong Makassar yang awalnya hanya merupakan sebuah rumah hunian kemudian bertambah luas seiring dengan dibelinya beberapa taman dan bahkan jalan di sekitarnya oleh keluarga Van Kerchem. Sayangnya pada tahun 1980 terjadi kebakaran yang membumihanguskan sisa-sisa dari bangunan lamanya. Selanjutnya pada tahun 1983, daerah yang dulunya dikenal sebagai Kampong Makassar ini kemudian berubah menjadi bangunan apartemen Morsweg. Kampong Makassar di Oegstgeest hanya tinggal kenangan.

Masjid Nurul Latief & Kramat Syekh Yusuf Al-Makassari di Afrika Selatan

Terakhir, Sobat Lontara, untuk menambah wawasan kita ternyata Kampong Makassar tidak hanya terdapat di Oegstgeest dan Jakarta saja lho. Di kota Bangkok Thailand terdapat sebuah distrik bernama “Makassan” yang dulunya merupakan tempat hunian diaspora kerajaan Gowa yang tak sudi tunduk pada VOC pasca Perang Makassar. Di Afrika Selatan, tak jauh dari Cape Town juga terdapat kota kecil bernama Macassar, dimana dulunya di sana banyak orang Makassar pengikut dari Syekh Yusuf yang dibuang oleh Belanda bermukim. Sosok Syekh Yusuf itu sendiri oleh Presiden Nelson Mandela dijadikan sebagai pahlawan nasional Afrika Selatan atas usahanya mengobarkan perlawanan terhadap penjajah dan jasanya dalam menyebarkan agama Islam.

“Kampung Makassar” di Afrika Selatan

Masih di Afrika, tepatnya di Mozambique juga ada kota pelabuhan yang bernama Macassar. Hubungan antara Mozambique dan Makassar yang sebenarnya di Sulawesi Selatan belum dapat ditemukan, akan tetapi mengingat dulunya Mozambique merupakan koloni Portugis dan pedagang Portugis itu sendiri memiliki hubungan yang erat dengan sultan-sultan Gowa, maka terbuka kemungkinan di daerah tersebut juga pernah ada orang-orang Makassar yang ikut berdagang di bawah bendera kapal kerajaan Portugal.

Seru sekali ya, dari Makassar kita diajak berkeliling dunia!

Sumber: Over Oegstgeest, Halfjaarlijks tijdschrift, 23e Jaargang Nummer 2, November 2011

Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Jejak Sulawesi Selatan di Kota Leiden

Sebuah kota kecil di Provinsi Zuid Holland, Belanda punya peran penting dalam sejarah Indonesia zaman kolonial. Di kota inilah dulu bapak-bapak bangsa kita seperti Ali Sastroamidjojo, A.A. Maramis, Iskaq Tjokrohadisoerjo, Soepomo, Achmad Soebardjo dan bahkan Sultan Hamengkubuwono IX pernah menuntut ilmu. Di kota kecil bernama Leiden ini pula dulu organisasi kepemudaan Indonesia pertama di luar negeri yaitu Indonesisch Vereeniging (Perhimpoenan Indonesia) di-establish pada tahun 1922. Leiden menyaksikan bagaimana sekumpulan pelajar Indonesia yang berasal dari beragam latar belakang ini berkumpul bersama dan mendiskusikan usaha-usaha untuk dapat memerdekakan tanah air nan jauh di seberang samudera.

Kota Leiden ternyata tidak hanya identik dengan sejarah nasional semata lho, Sobat Lontara. Ada beberapa jejak sejarah serta kebudayaan Sulawesi Selatan (dari etnis Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja) yang teman-teman bisa temukan juga di kota ini. Penasaran? Yuk kita telusuri!

1. Rumah Achmad Soebardjo

Sebuah rumah di Jalan Noordeinde No. 32 yang letaknya tak jauh dari gedung utama Universitas Leiden menjadi kediaman seorang putra Indonesia yang kelak akan menjadi Menteri Luar Negeri pertama dan Duta Besar Indonesia untuk Switzerland. Namanya Achmad Soebardjo, mahasiswa Fakultas Hukum di universitas yang telah berdiri sejak tahun 1575 ini. Kediaman Soebardjo sering menjadi sarang tempat berkumpulnya mahasiswa-mahasiswa anggota Perhimpoenan Indonesia yang berasal dari berbagai kota di Belanda. Dulunya, sebuah bendera berwarna merah-putih dengan hiasan gambar benteng di tengahnya di simpan di kamar Soebardjo. Bendera tersebut menjadi representasi dari cita-cita pemuda Indonesia yang tengah berkuliah di luar negeri untuk memerdekakan bangsanya. Rumah Achmad Soebardjo tidak hanya sarat dengan diskusi politik yang serius. Ia juga suka bermain musik. Teman-teman bisa membayangkan pada tahun 1920-an saat Soebardjo masih meninggali rumah tersebut, sayup-sayup suara biola yang ia gesek dapat terdengar hingga ke jalanan. Lalu, apa hubungan antara Achmad Soebardjo dengan Sulawesi Selatan? Nah, ternyata Achmad Soebardjo ini berdarah campuran Aceh-Bugis-Jawa. Ibunya yang bernama Wardinah ialah seorang Jawa-Bugis yang berasal dari Cirebon. Ayah Soebardjo yang bernama Teuku Yusuf sendiri merupakan seorang Aceh dengan darah bangsawan. Tokoh nasional lainnya yang memiliki darah campuran Jawa-Bugis antara lain ialah Dr. Wahidin Soedirohusodo dan Presiden Habibie.

2. Gedung KITLV

Polena pelele winruq, tenre kutuju mata, padana sulisa” demikian bunyi pepatah yang ditulis dalam aksara Bugis di mural gedung KITLV. KITLV yang merupakan institut riset untuk wilayah-wilayah bekas jajahan Belanda di Asia dan Karibia ini memilih untuk mengabadikan pepatah Bugis tersebut untuk menggambarkan keindahan serta keluhuran kebijaksanaan lokal dari mengkaji beragam naskah kebudayaan Sulawesi Selatan. Arti pepatah yang tertuang di mural KITLV adalah “Saya telah pergi ke berbagai tempat, namun mata saya ini belum pernah menemukan keindahan seperti yang saya temukan di negeri ini”. KITLV sendiri telah banyak sekali menelurkan buku mengenai kebudayaan dan sejarah Sulawesi Selatan. Beberapa pakar Sulawesi Selatan yang berasal dari KITLV antara lain: Cense, Kern, Noorduyn, Roger Tol, Kathy Wellen dan Ian Caldwell.

Mahasiswa Indonesia berkumpul di depan gedung KITLV yang di depannya terdapat mural bertuliskan aksara Bugis

3. Universiteitbibliotheek (UB)

Perpustakaan Universitas Leiden ini merupakan tempat paling favorite bagi mahasiswa, terutama saat menjelang minggu-minggu ujian! UB menyimpan banyak sekali naskah-naskah maupun dokumen-dokumen penting yang berhubungan dengan sejarah dan budaya Indonesia. Salah satunya yang paling terkenal tentu saja NBG188 yang tiada lain tiada bukan ialah naskah 12 jilid naskah La Galigo terlengkap di dunia. Naskah ini telah didaulat oleh UNESCO sebagai Memory of the World bagi Indonesia dan juga Belanda. Selain naskah La Galigo, banyak juga terdapat naskah kuno lainnya yang berasal dari daerah Makassar, Bugis, Mandar dan Toraja. Surat-surat penting sejak zaman kolonial hingga majalah-majalah terbaru Indonesia bisa ditemukan eksemplarnya di sini. Liputan khusus tim Lontara Project terkait perpustakaan ini bisa dibaca dengan lebih detail di sini.

4. Museum Volkenkunde

Koleksi boneka yang mengenakan pakaian adat Sulawesi Selatan di Museum Volkenkunde.

Museum Volkenkunde merupakan museum etnografi pertama di Eropa. Ada segala macam benda dari empat benua di museum ini. Museum ini menyimpan banyak sekali koleksi artefak bersejarah yang dikumpulkan sejak zaman VOC. Koleksi andalan Museum Volkenkunde tentu saja adalah Indonesische zaal alias ruang Indonesianya. Di ruangan tersebut ada beragam patung dan prasasti mulai dari zaman Singosari hingga zaman menjelang kemerdekaan. Koleksi emas kraton Cakranegara, Lombok yang merupakan hasil rampasan perang juga terpajang di sana. Museum Volkenkunde juga menyimpan banyak sekali benda-benda yang berasal dari Sulawesi Selatan. Salah satunya adalah keris kerajaan (Staatsiekeris) yang berasal dari tanah Bugis. Keris ini dimiliki oleh Stadhouder Willem IV yang menjabat sebagai direktur VOC pada tahun 1740. Keris tersebut konon berasal dari abad sebelum kedatangan Islam di Sulawesi Selatan. Selain benda yang dianggap sakral seperti keris, artefak-artefak sehari-sehari seperti sarung, pakaian, kain penutup kepala, bejana dan bahkan keranjang rotan juga dikoleksi oleh Museum Volkenkunde.

Penasaran dengan jejak-jejak Sulawesi Selatan di kota Leiden? Kami tunggu kehadiran Sobat Lontara berkunjung ke kota ini!

Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Dua Orang Pangeran Louis dari Makassar di Paris

Paris, ibukota fashion dunia. Paris juga tempat lahirnya sebuah revolusi besar yang menjadi sendi konsep negara modern di dunia. Paris, terima kasih atas kesuksesan seri buku Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata, juga menjadi destinasi utama mahasiswa-mahasiswa Indonesia untuk berburu ilmu pengetahuan di luar negeri. Akan tetapi tidak banyak yang mengetahui bahwa di kota Paris ini terdapat sebuah situs bersejarah tempat dimana dulu dua orang pangeran Makassar yang tumbuh besar di negeri Siam pernah disambut oleh Raja Perancis. Penulis buku “Manusia Bugis” yaitu almarhum Christian Pelras pernah membahas perihal kedua pangeran ini di majalah Archipel tahun l997, dengan judul artikel “La premiere description de Celebes-Sud en francais et la destinee remarquable de deux jeunes princes makassar dans la France de Louis XIV”.

Alkisah, Perjanjian Bongaya mengakibatkan terjadinya eksodus besar-besaran di Sulawesi Selatan. Banyak penduduk Makassar, Bugis dan Mandar yang memutuskan untuk berdiaspora keliling Nusantara karena tak sudi tunduk di bawah kekuasaan VOC. Demikian pula halnya dengan seorang bangsawa dari Gowa yang bernama Daeng Mangalle. Bersama dengan kedua orang puteranya, Daeng Ruru dan Daeng Tulolo, ia berhijrah ke negeri Siam (Thailand) yang saat itu dipimpin oleh baginda raja Phra Narai. Daeng Ruru dan Daeng Tulolo kemudian dikirim untuk bersekolah di sebuah kolese Jesuit bernama Louis Le-Grand setelah terjadi kudeta mengerikan yang dilakukan oleh orang-orang Makassar terhadap Phra Narai akibat muslihat adu domba dari orang-orang yang tidak menyukai kedekatan antara sang raja dengan kaum pendatang.

Gereja Saint Paul-Saint Louis di Paris (sumber: http://www.unjourdeplusaparis.com/en/paris-culture/visiter-eglise-saint-paul-saint-louis)

Kedua kakak beradik ini tiba di Paris dan disambut oleh Raja Louis XIV pada tahun 1687. Mereka berdua dibaptis di gereja Saint Paul-Saint Louis dan berada di bawah tanggung langsung Raja Louis XIV. Mereka berdua juga diberi nama baru yaitu Louis Pierre Macassar dan Louis Dauphin Macassar, mengikut kepada nama Raja Penguasa Istana Versailles tersebut. Tahun 1688, Pendeta Nicolas Gervaise menerbitkan sebuah buku berjudul “Description historique du Royaume Macassar” yang ditulis berdasarkan informasi yang ia terima dari kedua orang muridnya, kakak-beradik Louis berdarah Makassar serta budak asal Toraja yang ikut ke Paris. Setelah belajar Bahasa Perancis serta keagamaan di kolese Louis Le-Grand, kedua Louis kemudian melanjutkan pendidikan di sekolah militer Clermont yang bergengsi. Nasib kedua kakak-beradik ini cukup cemerlang di Angkatan Laut Kerajaan Perancis. Daeng Ruru bahkan pernah berperang di Hindia Barat (kepulauan Karibia). Sayang, setelah itu tidak ada lagi kabar yang terdengar dari mereka berdua. Konon Daeng Ruru meninggal saat melaksanakan tugas di Havana sedangkan Daeng Tulolo dimakamkan di sebuah gereja bernama Louis de Brest.

Nah, jika teman-teman berkunjung ke kota Paris, jangan hanya mejeng di depan Menara Eiffel aja! Sempatkan untuk berziarah ke gereja Saint Paul-Saint Louis, tempat dimana kedua pangeran muda dari Makassar ini disambut untuk memulai kehidupan mereka di benua biru yang penuh tantangan.

Salam hangat dari “Louie” yang lain di kota Leiden!