Categories
Featured Liputan

Sederhana Adalah Ciri Kebenaran!

Ahmad Dara Sjahruddin, pria kelahiran Sumatera Barat tanggal 16 Agustus 1920, merupakan mantan walikota Makassar di era 1952-1957 . Sosok yang sangat bijaksana, tegas, bersahaja dan intelektual begitu melekat pada diri beliau. Tentunya kita tidak akan lupa selain pernah menjabat sebagai Walikota Makassar, dalam ranah akademik pun beliau menggoreskan tinta emasnya dengan menjabat sebagai rektor di Universitas Muslim Indonesia. Hingga saat ini ketika bersilaturrahim kerumah beliau untuk yang kedua kalinya, nampak raut wajah yang begitu gembira menyambut kedatangan kami. Suasana rumah yang begitu sederhana dan tenang. Nampak dari ruang tengah terpajang foto keluarga, foto pelantikan beliau ketika menjabat sebagai Walikota Makassar, dan beberapa kenang-kenangan dari kegiatan sosial lainnya yang masih sangat awet. Amat terasa sekali suasana kekeluargaan ditempat ini ketika kami disuguhkan sirup DHT, kacang goreng asin, dan kripik balado khas padang yang oleh beliau menerangkan inilah oleh-oleh khas dari Padang.

Bapak  Ahmad Dara Sjahruddin  berdomisili di Jalan Kenari nomer 4, Kota Makassar. Berseberangan dengan Rumah Sakit Hikma, kira-kira 15 Meter dari Jalan Arif Rate. Nampak rumah yang sangat sederhana, terdapat satu mobil yang terparkir di terasnya,  becak yang sering terparkir di depan pagar rumahnya, halaman yang berisi bunga-bunga berwarna hijau, dan saluran got yang tidak tertutup. Dari depan rumah beliau terlihat papan nama kecil yang tertulis A. Dara Sjahruddin. Ketika masuk, nampak sebuah lukisan portrait yang begitu mencolok. Ketika melihatnya, seakan-akan kita tengah memandangi sepasang aktor dan aktris Asia yang sungguh rupawan dari jamannya. Setelah tiba di ruang tengah, barulah kami tersadar, yang tadi itu adalah foto Pak Ahmad Dara dan mendiang istrinya saat masih muda dulu dalam bentuk lukisan.

Di siang hari setelah menunaikan sholat dzuhur di mushollah kediaman Pak Ahmad Dara, barulah kami mulai menyampaikan maksud kedatangan kami bersilaturrahim ke rumah beliau. Kami mengawalinya dengan terlebih dahulu memberikan surat mengenai kegiatan WHD yang akan diadakan pada tanggal 18 April 2014 di Museum Kota Makassar.

Pak Ahmad Dara & Istrinya, Helga Emerintia Blaset – semasa muda

Kegembiraan pun terpancar dari wajah beliau, sebab beliau tidak menyangka dewasa ini masih ada kalangan mahasiswa yang datang untuk memintanya hadir dalam kegiatan WHD. Beliau juga sangat antusias menyembut kegiatan WHD yang pertama kalinya dilaksanakan dikota Makassar. Di usianya yang sudah ke-94, Pak Ahmad Dara hanya mengalami gangguan pendengaran, sementara ingatan dan ucapannya pun masih sangat fasih. Seringkali saat berbicara, semangatnya meletup-letup. Kami pun banyak tertawa karena selera humornya yang tinggi. Apalagi saat membahas kondisi museum yang tengah kami garap sebagai tempat pelaksanaan acara. Bahkan, ditengah-tengah pembicaraan kami beliau masih sempat berpandangan kritis terhadap pembangunan kota Makassar saat ini, antara lain mengenai pembangunan infrastruktur kota yang banyak menimbun laut, juga saluran pengairan atau parit yang banyak ditimbun sebagai dampak dari maraknya pembangunan kota, “Got itu tidak bisa di tutup dengan semen, karena bagaimana kita bisa membersihkan kalau got tersebut ditutup” tutur pak Ahmad Dara. Selain itu beliau bercerita tentang supermarket yang banyak dan pedagang-pedagang yang terlupakan. Beliau mengatakan bahwa itu tidak bisa dibiarkan, karena mengancam mata pencaharian para pedagang asongan. Beberapa sindiran dilontarkan oleh Pak Ahmad Dara terhadap pemerintahan dewasa ini. Tentang gaya hidup para pejabat yang begitu bermewah-mewahan, sementara rakyatnya ada yang kelaparan di sudut kota yang lain. Atau yang begitu sibuk menggalakkan isu Go Green namun malah tidak memperhatikan mekanisme saluran pembuangan dengan baik.

Walau pada akhirnya, dengan berat hati beliau menyampaikan permohonan maaf karena kemungkinan besar beliau tidak bisa datang pada perayaan WHD dikarenakan faktor uzur, tapi beliau sangat bahagia karena setelah beberapa waktu lamanya, akhirnya lahir sebuah gerakan yang berusaha mengajak generasi muda untuk kembali menikmati peran sejarah. Dengan sebuah undangan sederhana bergaya tempo dulu, beliau membacanya dengan begitu lugas. Dan kami pun merasa malu ketika beliau mengoreksi beberapa ejaan yang keliru. Rupanya Pak Ahmad Dara ini termasuk orang yang cukup teliti.

Sebelum mengakhiri perbincangan dengan kami, beliau memberikan pesan  bahwa sebagai generasi penerus bangsa hendaknya berkeyakinan bahwa “kesederhanaan itu adalah ciri dari kebenaran” yang dilafalkan dengan bahasa Belanda yang fasih. Kami sungguh merasa terhormat bertemu dengan salah satu saksi sejarah Makassar yang sekaligus pernah menjadi orang nomor satu di kota ini.

bersama Pak Ahmad Dara dan Lontara Project

Ah, terlalu banyak pelajaran yang belum kami dapatkan dari pengalaman hidup Pak Ahmad Dara yang bersahaja. Semoga kami masih diberi kesempatan untuk bertemu beliau di lain waktu. Senantiasa sehat dan diberikan umur yang panjang, Pak!

 

 

Anna Asriani, atau Anna Young Hwa, lulusan Ilmu Sejarah UNHAS 2013 yang fanatik dengan Mie Awa ini merupakan pribadi yang heboh dan menggelegar. Kesukaannya terhadap sejarah, khususnya Sulawesi Selatan, membawanya bertemu langsung dengan para Sejarawan dan Budayawan yang tersebar di Indonesia. Anna bercita-cita untuk membangkitkan lagi kesadaran anak-anak muda akan kearifan lokal dengan bergabung menjadi Volunteer di Lontara Project. Di setiap kesempatan, Anna selalu bersemangat mengunjungi tempat-tempat baru, dan paling utama adalah mencicipi makanan khasnya. Kunjungi FBnya di : Anna Asriani De Sausa.

 

Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Lontara Project Goes to The Netherlands Part III – Berziarah ke Makam Matthes

Sabtu, 21 Desember 2013

Agenda tim Lontara Project pada hari kelima adalah berziarah ke makam Benjamin Franklin Matthes di Den Haag. Hari itu pukul 11.00 pagi tim Lontara Project ditemani dengan Prof. Sirtjo Koolhof, ibu Betty Litamahuputty (peneliti berdarah Belanda-Mamasa-Jawa-Maluku), dan Sunarti Tutu (seorang warga Indonesia asal Maros yang telah menetap di Belanda) menziarahi sebuah pemakaman bernama Oud Eik en Duinen.

Rombongan Lontara Project di hadapan makam Matthes

Kala itu hujan gerimis turun membasahi bumi. Langit Den Haag kelabu, seakan tahu bahwa hari ini kami akan menghaturkan sebuket kembang di pusara salah seorang putra terbaiknya. Matthes merupakan seorang ahli bahasa penerjemah kitab Injil dari Belanda. Dalam mengemban tugasnya di Sulawesi Selatan, Matthes memerlukan bantuan orang lain untuk menerjemahan Injil yang berbahasa Latin ke Bahasa Bugis. Ditemuinya seorang Colliq Pujie, negarawan wanita asal Bugis yang intelek dan terasing di Makassar akibat pemberontakannya terhadap kolonialisme Belanda. Berawal dari situlah B. F. Matthes dan Colliq Pujie memprakarsai dan memulai sebuah proyek besar: penyalinan naskah La Galigo yang tersebar luas di berbagai wilayah di Sulawesi Selatan selama sekitar 20 tahun. Atas ide Matthes dan kerjasamanya dengan Arung Pancana Toa Retna Kencana Colliq Pujie itulah lahir naskah epik tulis terpanjang di dunia yang diakui UNESCO dan tersimpan rapi di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.

Makam Matthes, putri beserta saudarinya

Makam B. F. Matthes di Den Haag terletak di kompleks pemakaman tua. Di dalamnya juga terdapat beberapa makam penyair dan orang-orang Indo (campuran Belanda-Indonesia) yang tersohor pada zaman Hindia Belanda. Sekedar informasi, Den Haag dulu dikenal dengan nama julukan “Janda Hindia Timur”. Den Haag menjadi tempat bermukim pejabat-pejabat Belanda yang dulu pernah ditempatkan di Hindia Timur serta menjadi tempat suaka bagi banyak warga keturunan Indo pasca merdekanya Hindia Timur. Den Haag selalu punya ikatan yang erat dengan kepulauan Nusantara di seberang samudera sana. Ziarah ini mengingatkan kita kepada kematian serta mengingatkan kita tentang nilai perjuangan orang-orang yang dinikmati hasil karyanya saat ini. Melalui kegiatan ziarah ini diharapkan tim Lontara Project dan pemuda umumnya dapat meningkatkan optimismenya dalam melestarikan budaya nusantara.

 Tulisan Lontara Project tentang B.F. Matthes juga dapat dibaca di –> “Bule-Bule yang Kepincut La Galigo: B.F. Matthes”

 

 Muhammad Ulil Ahsan Arif, mantan Ketua Perhimpunan Mahasiswa Peduli Pangan Indonesia (HMPPI). Pemuda asal Sengkang ini punya cita-cita yang mulia untuk melestarikan budaya sekaligus mengkampanyekan semangat kesadaran atas isu-isu ketahanan pangan nasional. Dirinya yang lulusan Universitas Mercu Buana Yogyakarta ini amat multitalenta; Ia dapat memainkan beragam alat musik daerah mulai dari kitoka, suling, hingga puik-puik. Kenali Ulil lebih lanjut dengan mengunjungi blog pribadinya di http://ulilahsan.wordpress.com/

Categories
101 La Galigo Featured Kareba-Kareba Liputan

Lontara Project Goes to The Netherlands Part II – Ketika Batara Guru Turun di KBRI Den Haag

Jumat, 20 Desember 2013

Malam itu auditorium Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag, pusat pemerintahan Kerajaan Belanda, penuh. Di luar dugaan, undangan terbuka yang tadinya diperkirakan hanya akan memuat 75 – 100 orang, ternyata membludak. Udara dingin di luar sana seakan tidak menyurutkan langkah mereka yang penasaran untuk hadir dan menyaksikan pertunjukan kami. PPI Rotterdam yang menjadi host kegiatan ini membuka kantin kecil-kecilan di luar auditorium untuk makan malam para penonton. Atas kemurahan hati dari Bu Retno Marsudi selaku Duta Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Belanda, semua yang hadir pada malam hari itu diperbolehkan menyantap hidangan secara gratis. Penonton yang hadir pada malam hari itu merasa beruntung sekali. Kapan lagi ditraktir Bu Dubes seperti ini?

Acara dimulai pada pukul 06.00 PM. Begitu Bu Dubes memasuki ruangan, personil La Galigo Music Project yang telah siap tempur dengan kostum serta alat musik mereka langsung memenuhi ruangan dengan alunan lagu Bengawan Solo. Tentunya versi aransemen kami sendiri. Setelah Bu Dubes memberikan kata sambutan, perwakilan dari PPI Rotterdam yaitu Anasthasia Widastuti turut pula mendapat kesempatan untuk menyampaikan sepatah-dua patah kata. Dengan dipandu oleh Indhira Sembiring dari PPI Rotterdam sebagai MC, acara beralih ke talkshow mengenai Lontara Project dan La Galigo Music Project. Akan tetapi, sebelum talkshow-nya sendiri dimulai, ketua PPI Belanda Willy Sakareza tiba-tiba mengambil alih panggung untuk memberikan kejutan kepada Bu Dubes. Bu Retno Marsudi yang baru saja berulang tahun diberikan hadiah berupa sebuah foto berbingkai indah yang tersusun dari wajah-wajah anggota-anggota PPI di Belanda. Yang ini benar-benar di luar skenario kami!

Acara berlanjut dengan pemaparan terkait apakah itu La Galigo oleh Muhammad Ahlul Amri Buana, bagaimana awal berdirinya Lontara Project oleh Maharani Budi, dan mengapa menggunakan musik sebagai media konservasi kreatif oleh Muhammad Yusuf. Talkshow berjalan dengan akrab dan hangat, sempat mengundang tawa penonton pada beberapa kisah yang dilontarkan oleh ketiga pembicara. Setelah sekitar 30 menit berbincang, penonton dipersilakan untuk menikmati makan malam. Tim La Galigo Music Project mengiringi makan malam dengan sajian lagu-lagu lama Indonesia yang dulunya pernah populer di negeri Belanda. Lagu-lagu seperti “Burung Kakatua”, “Nurlela”, “Aksi Kucing” dan “Medley Indonesia Timur” berhasil memukau penonton yang tengah menyantap makanan. Beberapa orang bahkan memilih untuk meletakkan makan malamnya dan menikmati iringan musik kami sambil sesekali mengambil gambar kami.

Setelah sekitar setengah jam menikmati makanan serta iringan musik, penonton kembali ke tempat duduk masing-masing. Sebuah dokumenter singkat karya Eni Puji Utami dan kawan-kawan terkait perjalanan La Galigo Music Project yang berpusat di Yogyakarta ditayangkan. Dokumenter singkat itu disusul oleh sebuah video pendek karya Faizt Elmir yang menggambarkan kegiatan tim Lontara Project di hari pertama misi “La Galigo Goes to The Netherlands”. Video tersebut merekam momen-momen saat kami mengunjungi KITLV dan melihat langsung ke-12 jilid naskah asli La Galigo yang tersimpan di Perpustakaan Leiden University.

Setelah pemutaran kedua video tersebut, suasana mendadak hening. Tim La Galigo Music Project bersiap untuk menampilkan pagelaran sendratari “The Journey of Batara Guru” yang menjadi acara puncak pada malam itu. “The Journey of Batara Guru” merupakan sebuah penampilan artistik hasil olah cipta, rasa dan karya tim La Galigo Music Project selama sebulan belakangan ini. Sendratari tersebut mengangkat salah satu episode awal di dalam Sureq Galigo, yaitu “Mulana Tau” atau asal mula manusia.

Alkisah, Datu PatotoE Sang Penguasa Langit memutuskan untuk menurunkan putranya yang bernama Batara Guru untuk memulai kehidupan ras manusia di permukaan bumi. Batara Guru diberikan berbagai macam perlengkapan magis untuk memulai misinya itu. Dimasukkan ke dalam sebuah bambu betung, Batara Guru lalu turun ke Ale Lino (dunia tengah) dan mulai tugasnya mengisi kekosongan bumi. Ia menciptakan gunung-gemunung, sungai, lautan, hutan-hutan, burung-burung dan juga hewan-hewan lainnya. Ketika tugasnya telah selesai, Batara Guru merasakan kesepian yang amat sangat. Ia merasa dirinya takkan sanggup untuk tinggal di permukaan bumi ini seorang diri. Maka, atas kesepakatan antara Datu PatotoE bersama sepasang suami-istri dewa penguasa Toddang Toja (dunia bawah), dimunculkanlah seorang dewi yang amat cantik dari buih-buih di lautan. Ia lah We Nyiliq Timoq, namanya berarti “Kerlingan dari Timur”, seorang wanita yang akan menjadi pasangan Batara Guru di muka bumi. Pernikahan antara Batara Guru dan We Nyiliq Timoq pun dirayakan oleh penuh sukacita oleh penghuni kerajaan langit dan kerajaan bawah air.

Mungkin ekspektasi penonton ketika melihat pamflet sendratari ini adalah sebuah pertunjukan drama yang diiringi oleh pukul-pukulan gendang, tiupan seruling dan puik-puik, atau dentangan kecapi khas Bugis-Makassar. Memang unsur-unsur tersebut masih dapat kita temukan sepanjang sendratari berlangsung, akan tetapi apa yang kami tampilkan pada malam hari itu merupakan sebuah karya kontemporer yang memadukan musik tradisional Indonesia, musik klasik, dan bahkan musik Barat ke dalam sebuah kanvas cerita. Pertunjukan terdiri atas empat buah babak. Babak pertama berjudul “Turunnya Batara Guru”, menggambarkan sosok Batara Guru (diperankan oleh Fahmi Ramadiansyah) yang dititahkan oleh orang tuanya untuk turun ke Ale Lino. Di sini kami mengambil beberapa bait potongan dari naskah La Galigo yang sesuai dengan isi cerita. Hanya saja langgam massureq (irama yang dipakai ketika menyanyikan La Galigo pada ritual-ritual adat di Sulawesi Selatan) kami modifikasi dengan gaya Gregorian sehingga ketika dinyanyikan menimbulkan efek opera. Di babak kedua yang bertema “Penciptaan”, huruf-huruf dari aksara lontaraq Bugis disenandungkan dengan metode canon paduan suara, alias saling berbalasan namun dengan tempo yang berbeda. Aksara lontaraq yang merupakan bukti puncak kekreatifan manusia dalam peradaban di Nusantara sengaja dipilih untuk kami gemakan sebagai penanda bahwa pada fase ini Batara Guru yang telah turun ke dunia menggunakan energi kreatifnya demi menciptakan berbagai rupa benda. Babak ketiga merupakan babak yang menggambarkan kemunculan We Nyiliq Timoq sebagai pasangan Batara Guru. Dengan mengambil gerakan tarian Sulawesi Selatan, Ina Kurnia Savitri yang memerankan We Nyiliq Timoq muncul ke tengah panggung diiringi oleh suara bassing-mpassing yang menyayat-yayat dan bait Sureq Galigo yang dinyanyikan dengan langgam bissu Saidi. Setelah pertemuannya dengan Batara Guru, lagu Indoq Logo dan dentingan irama barasanji Bugis melalui kitoka mengiringi kedua pasangan tersebut menari. Babak keempat merupakan klimaks pertunjukan. Tari empat etnis Sulawesi Selatan (Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja) dibawakan secara kontemporer oleh para penari, menggambarkan kemeriahan pernikahan Batara Guru dan We Nyiliq Timoq. Pertunjukan sendiri ditutup oleh medley lagu tradisional dari ujung timur hingga ujung barat Indonesia. Secara spontan, banyak penonton yang ikut larut bahkan hingga terjun ke panggung untuk menari bersama para penari.

Malam itu, La Galigo Music Project sukses mengguncang KBRI Den Haag. Tawa riang para penonton membuktikan kesuksesan proses panjang yang ditempuh oleh tim kami selama ini. Batara Guru telah turun sekali lagi, kali ini ia “dihidupkan” untuk memberikan inspirasi kepada generasi muda Indonesia meskipun jauh dari tanah air. Tentunya kegiatan “La Galigo Goes to The Netherlands” ini tidak akan mungkin dapat terwujud tanpa bantuan dari sponsor-sponsor kami yaitu Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, Pemerintah Daerah Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan, serta Garuda Indonesia. Dari hati yang terdalam kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada mereka yang telah mendukung “turunnya” Batara Guru pada malam hari itu.

Abadilah La Galigo, abadilah kebudayaan Nusantara!

Artikel mengenai kegiatan tim Lontara Project di KBRI Den Haag juga diliput oleh detik.com dan Andi Ahmad Yanni. Link artikelnya dapat dibuka di: