Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Menikmati Sensasi Puncak Tertinggi Pulau Sulawesi

Sobat Lontara yang satu ini ingin berbagi kisahnya saat mencoba untuk menaklukkan Puncak Tertinggi di Pulau Sulawesi. Nggak perlu jauh-jauh ke Himalaya atau ke Grand Canyon, yuk nikmati keindahan panorama Indonesia kita yang luarbiasa ini dulu! Untuk foto-foto menarik yang Chaerul Anwar dapatkan selama perjalanan, bisa dilihat langsung di blog pribadi yang bersangkutan 🙂

Gunung Latimojong berada di wilayah kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan dan merupakan gunung tertinggi di pulau Sulawesi pada puncak tertingginya, yaitu puncak Rante Mario dengan ketinggian ±3478 mdpl.

Untuk mencapai titik awal pendakian (basecamp) bisa menggunakan transportasi mini bus dari terminal Regional Daya, Makassar menuju ke Pasar Baraka, Kabupaten Enrekang dengan biaya transportasi per-orang sekitar Rp60.000,- dengan waktu tempuh sekitar 7 Jam. Lalu melanjutkan perjalanan dengan mobil Jeep Off Road yang terdapat di pasar Baraka menuju ke dusun Latimojong, desa Karangan dengan waktu tempuh sekitar 4 jam dan dengan biaya transportasi Rp35.000,- per-orang. Sedikit catatan, Khusus untuk pilihan menggunakan mobil off road menuju desa Karangan, dusun Latimojong, hanya bisa didapatkan pada hari pasar, yaitu pada hari senin dan hari kamis pagi. Sedangkan kembali dari dusun latimojong menuju ke Baraka pada hari Minggu dan hari Rabu pagi. Lewat hari itu bisa menempuh perjalanan dengan jalan kaki menuju ke dusun latimojong (basecamp) ataupun sebaliknya.

Perjalanan saya kali ini berlangsung pada tanggal 23 – 25 Agustus 2012 dan merupakan pendakian bersama yang terdiri dari rekan-rekan dari berbagai daerah dengan total anggota tim sebanyak 16 orang. Tim kami terdiri dari 3 orang dari Makassar (termasuk saya), 5 orang dari Jakarta, 3 Orang dari Kota Palopo, dan 5 orang dari Kabupaten Enrekang.

23 Agustus 2012

Saya dan rekan-rekan tim yang lain memulai perjalanan dari rumah salah seorang anggota tim yang terdapat di jalan poros Makassar – Enrekang. Untuk mencapai pasar Baraka kami menggunakan mobil truk dengan pertimbangan daya muatnya yang tinggi, karena selain mengangkut orang tentu saja harus mengangkut semua barang-barang utamanya keril (ransel besar yang biasanya dibawa mendaki gunung).

Perjalanan menuju pasar Baraka ditempuh sekitar 40 menit melewati jejeran pegunungan dengan pemandangan yang menurut saya sangat eksotis meskipun dengan jalan yang lumayan tidak rata. Setelah sampai di pasar dan setelah menitip beberapa barang di salah satu kontarakan teman yang kebetulan letaknya di dekat pasar. Beberapa barang sengaja tidak diikutkan dalam pendakian dengan pertimbangan disesuaikan dengan kebutuhan. Misalnya beberapa helai baju, celana dan Hardisk Portable yang selalu setia di dalam daypack saya. Berhubung hari pasar, saya dan beberapa rekan-rekan tim saya kemudian menyempatkan diri jalan-jalan di pasar sekaligus membeli kebutuhan pendakian seperti makanan, kopi, dll.

Kalau saya sendiri membeli dua botol air mineral, mengingat botol air mineral itu sangat penting selama pendakian sebagai tempat menyimpan air selama perjalanan dan juga membeli beberapa baterai cadangan untuk kamera pocket yang saya pegang (dalam kondisi dingin misalnya di daerah pegunungan, batere akan lebih cepat low batt).

Kab. Enrekang yang khas dengan buah salak

Setelah jalan-jalan dari pasar dan beristirahat sejenak, tim kami bersiap-siap untuk berangkat menuju ke Dusun Latimojong dengan menggunakan mobil Off Road. Yang membuat saya agak heran sekaligus lucu adalah mobil Off Road yang sepertinya hanya muat beberapa orang, ternyata mampu menampung sekitar 20-an orang termasuk barang-barangnya. Selain mengangkut tim kami yang berjumlah 16 orang, mobil off road ini juga mengangkut penduduk sekitar dari pasar beserta barang belanjaannya. Sumpah.. keren! 😀

Saya sendiri kebagian tempat duduk di depan. Di depan kaca depan mobil maksudnya..hehe. Namun ternyata menjadi berkah tersendiri buat saya karena bisa mengabadikan beberapa foto dengan leluasa selama perjalanan. Perjalanan dari pasar Baraka menuju ke dusun Latimojong didominasi oleh jalan tanah yang di beberapa bagian sangat tidak rata dan dengan jalur berkelok-kelok, menanjak, menurun dan melewati tebing gunung yang curam. Sesekali terdapat perumahan penduduk yang ditemukan di tepi jalan yang kami lewati.

Sepanjang perjalanan mata kami dimanjakan oleh pemandangan alam pegunungan, kebun salak, kebun cengkeh yang lagi musim, kebun kopi lagi yang berbuah dan tanaman jangka pendek seperti cabe merah yang berbuah lebat dan teratur rapi di lereng gunung yang kami lewati. Hal ini menjadi indikator tersendiri bahwa tanah di daerah ini sangatlah subur.

Situasi Desa Karangan, Dusun Latimojong

Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 4 jam, akhrinya Jeep yang kami tumpangipun tiba di dusun Latimojong.  Sebagian dari anggota tim kami memilih istirahat dan shalat di masjid dekat basecamp (Rumah Pak Dusun) sedangkan sebagian yang lain memasak untuk makan siang anggota tim. Sekitar pukul 15:30, setelah beristirahat sejenak dan menikmati makan siang, kamipun memulai perjalanan dari Basecamp dengan target POS II karena di pos ini terdapat sumber air. Dan menurut rencana, tim kami akan bermalam di POS II ini.

POS 1 berada di balik gunung

Basecamp (perkampungan) –POS 1

Masih dihari yang sama dengan pemberangkatan, selepas adzan Dzuhur dan do’a bersama kamipun mulai perjalanan. Perjalanan menuju POS I dimulai dengan melewati area perkampungan menyusuri jalan setapak di lereng gunung, melewati perkebunan kopi dan beberapa sungai kecil.

Tantangan menuju POS I ini pada saat mendaki melewati kebun yang memiliki kemiringan yang cukup terjal sesaat sebelum tiba di POS I. Lumayan membuat kaki letih apalagi ditambah dengan beban bawaan yang lumayan berat. POS 1 berada di ketinggian ±1800 mdpl.

POS 1 – POS 2

Jalur menuju POS II melewati jalan setapak diantara pepohonan besar hutan. Tidak jarang melewati track yang cukup menanjak melewati tepian tebing. Track ini harus dilalui dengan hati-hati dengan memperhatikan setiap langkah. Dan sebaiknya tidak dilalui pada saat kondisi gelap utamanya bagi pendaki pemula yang belum terbiasa dengan track hutan dengan jalur sempit. Perjalanan dari basecamp hingga ke POS 2 memakan waktu ± 3 jam. Pos 2 sendiri merupakan lokasi perkemahan yang sangat ideal karena terdapat sumber air segar yang berlimpah, gak perlu bawa kulkas.. soalnya sudah dingin, hehe. Selain ketersediaan air, juga terdapat dinding alam dan goa yang melindungi tenda dari terjangan angin, dan yang paling berkesan adalah.. lokasinya yang subhanallah.. cantik! Di lokasi ini kita bisa tidur sambil menikmati suara air yang menenangkan pikiran.

Sumber air di dekat POS 2

24 Agustus 2012

Pagi hari sekitar pukul 07:00 pagi di POS 2, setelah packing barang dan perlengkapan (saya gak sempat sarapan karena keasyikan mengabadikan gambar), kami melanjutkan perjalanan dengan target POS 7.

POS 2 – POS 3 – POS 4

Menururt saya pribadi, jalur dari POS 2 menuju POS 4 adalah jalur yang paling menantang diantara semua jalur menuju puncak Gunung Latimojong. Track ini didominasi jalur menanjak dan hampir tidak terdapat jalur yang mendatar sejak melewati POS 2.  Di jalur ini kadang kita harus melalui track dengan kemiringan cukup terjal dan di lalui dengan memanfaatkan akar-akar kayu dan batu sebagai pijakan kaki. Hanya sesekali melalui jalanan datar, itupun hanya beberapa langkah kaki sebelum kembali bertemu dengan jalan menanjak (yaiyalah.. namanya juga menuju puncak).

Namun sambil jalan, kita bisa menikmati pemandangan hutan yang masih alami, kicauan burung, angrek-anggrek liar, bambu kecil, dan beberapa tanaman rotan yang tumbuh liar di sisi kiri dan kanan jalan. Sekedar tambahan, kita harus memenej konsumsi air sejak meninggalkan POS 2, karena air baru bisa ditemukan lagi di sekitaran POS 5.

POS 4 – POS 5

Jalur tetap menanjak (yaiyalah!), suhu udarapun terasa semakin dingin dan menusuk. Hal ini menjadi tanda bahwa posisi kami semakin berada di ketinggian. Jika di track sebelumnya saya hanya memakai kaos oblong sambil mendaki, kali ini saya memilih mengenakan jaket hoody untuk melawan suhu dingin pegunungan. Jalur menuju POS 5 sama seperti jalur-jalur sebelumnya, dilalui dengan menyusuri jalan setapak menanjak yang kadang berada di tepi jurang yang lumayan dalam. Di sisi kiri dan kanan jalan kita bisa menikmati lumut hijau yang seakan tumbuh menyelimuti batang pepohonan. Kadang jalur kami tembus dalam kondisi berkabut, sungguh sensasi yang luar biasa.. hehe. POS 5 ini berada di ketinggian ±2.678 mdpl.

Di POS 5 ini tim kami memutuskan untuk beristirahat sekaligus memasak dan makan siang berhubung di sekitar POS 5 ini terdapat sumber air. POS 5 merupakan lokasi istirahat yang cukup ideal karena selain terdapat sumber air juga merupakan dataran yang cukup luas. Namun di beberapa sumber menyebutkan bahwa di POS 5 ini kadang terjadi hal-hal mistis yang irasional, namun menurut saya pribadi, sepanjang gak berbuat macam-macam dan tetap berusaha saling menghargai sesama makhluk Tuhan, Insya Allah gak bakalan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Lagian gunung mana sih di Indonesia yang gak memiliki ‘cerita’ mistis?

POS 5 – POS 6 – POS 7

Setelah beristirahat dan makan siang, kami-pun kembali melanjutkan pendakian. Di sekitar jalur pendakian, tanaman nampak semakin kerdil sebagai indikator posisi kami yang semakin tinggi dari permukaan laut. Sekedar menambah pengetahuan, hal ini mungkin bisa dijelaskan dengan melihat peta iklim “junghunh” yang berdasarkan ketinggian. Track dari POS 5 menuju POS 6 lumayan mendaki namun dengan jalur yang mulai agak terbuka karena tanaman yang mulai mengerdil dan melewati batu berlumut serta tanah yang mengeras. Sayangnya kami melewati track ini dalam kondisi yang cukup berkabut jadi tidak bisa menikmati pemandangan pegunungan dari ketinggian. Kami terus melanjutkan perjalanan menuju POS 7. Suhu semakin dingin, kabut semakin tebal hingga hanya menyisakan jarak pandang sekitar 10 meter dan sesekali angin bertiup membawa butiran-butiran air dingin dan menerpa kami. Dengan track yang masih cukup menanjak namun sesekali terdapat track yang cukup datar sekitar enam langkah sebelum kembali menanjak. Pepohonanpun terlihat semakin kerdil dibandingkan sebelumnya.

Jejeran pohon kerdil, menuju POS 6

Kami akhirnya tiba di POS 7 sekitar jam 17:00 sore.  Saya langsung memakai jaket tebal merah-abu-abu-ku yang bagian dalamnya berbahan polar untuk menangkal suhu dingin, sambil menunggu beberapa rekan saya yang lain yang sementara masih dalam perjalanan menuju ke POS 7. Karena menjelang gelap, kami yang sudah tiba duluan segera mendirikan tenda untuk beristirahat sebelum melakukan pendakian menuju puncak Rante Mario keesokan harinya.

POS 7 merupakan area yang cukup terbuka, dan dengan mudah dihantam angin dingin yang membawa butiran-butiran air dari kabut karena terletak di punggung pegunungan. POS 7 ini berada di ketinggian ±3100 mdpl (bandingkan dengan puncak Gunung Bawakaraeng yang hanya ±2830 mdpl).

Lokasi perkemahan kami di POS 7

Setelah makan malam, Malam hari diisi dengan bincang-bincang santai oleh mayoritas anggota tim sambil menikmati cemilan dan kopi. Saya sendiri memilih segera kembali ke dalam tenda dan beristirahat di dalam sleeping bag untuk me-recharge tubuh yang lumayan capek.

25 Agustus 2012

Menjelang pagi, mayoritas anggota tim sudah siap melanjutkan pendakian. Rencananya kami berada di puncak sekitar satu jam lalu segera kembali ke POS 7. Tenda, dan mayoritas perlengkapan ditinggalkan di POS 7 dan hanya membawa perlengkapan yang dibutuhkan sewaktu tiba di puncak, dalam hal ini terutama adalah Kamera.. hehe.

Sekitar jam 6 lewat, kami memulai pendakian meninggalkan POS 7 menuju puncak Rante Mario dengan menembus kabut pagi yang dingin. Masih terdapat track yang cukup mendaki . Sisanya lumayan landai serta track mendaki dengan tingkat kemiringan yang tidak terlalu terjal. Pohon-pohon kerdil masih dijumpai di sekitar jalur pendakian.

Tidak terlalu lama berjalan, akhirnya kami tiba di POS 8.

POS 8 merupakan dataran yang agak luas yang menyerupai waduk kering yang ditumbuhi rerumputan yang menurut cerita dulunya adalah helipad (landasan helikopter) yang digunakan pada saat antenna pemancar (radar) di yang ada di dekat lokasi POS 8 ini masih difungsikan pada era pemerintahan Orde Baru (katanya nih ya). Memang terlihat siluet antena yang menjulang ke atas di salah satu puncak gunung yang saya lihat saat berada di POS 8.

Kami melanjutkan menuju ke puncak. Track berupa jalanan berbatu dan tidak terlalu menanjak. Di track ini angin lumayan kencang karena berada di area terbuka dan merupakan punggung gunung. Suhu udarapun sangat dingin, jadi sebaiknya memakai jaket atau raincoat untuk menghalau angin dingin yang mengandung air.

Sekitar pukul 07:00 pagi kami akhirnya tiba di puncak Rante Mario yang memiliki ketinggian ±3475 mdpl (puncak tertinggi di pulau Sulawesi ).

foto bersama full team di triangulasi Puncak Rante Mario

Sebenarnya kami berharap bisa tiba di puncak dalam kondisi cerah supaya bisa melihat pemandangan sekeliling. Namun sayangnya yang kami dapatkan adalah kondisi berkabut. Setelah puas menikmati sensasi dan suasana puncak puncak tertinggi Sulawesi, sekitar pukul 08:10 pagi kami-pun memutuskan memulai perjalanan untuk turun dari puncak menuju ke POS 7 dalam kondisi gerimis untuk mengemasi barang sekaligus sarapan kemudian melangkah turun menuju Perkampungan Desa Karangan, dengan track menurun dalam kondisi gerimis.

Buat saya pribadi, pendakian kali ini sangat spesial. Selain karena gunung yang didaki merupakan gunung tertinggi di Sulawesi, yang berarti saya telah berdiri melebihi ketinggian tanah manapun di seluruh Sulawesi. Juga karena dalam pendakian kali ini begitu banyak track terjal yang berhasil dilalui, menerobos kabut dingin dan melewati hutan lebat hingga akhirnya berdiri di tanah tertinggi di Sulawesi.

Foto bersama sebelum meninggalkan Dusun Latimojong

Sebuah kesyukuran dan pengalaman menakjubkan tersendiri yang begitu sulit saya deskripsikan dengan rangkaian kata dalam tulisan. Alhamdulillah, terima kasih Tuhan dan terima kasih untuk semua rekan-rekan yang menjadi rekan seperjalanan saya yang membuat pendakian ini menjadi terasa lebih spesial.

Sumber:
Blog 27cm oleh Chaerul Anwar

Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Lontara Project Goes to Selayar – Cerita Suku Bajo dari Takabonerate

Takabonerate tidak hanya menyimpan potensi wisata sebagai atoll terbesar ketiga di dunia. Kumpulan pulau dan karang yang menciptakan keindahan serta kekayaan alam di Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan ini ternyata menjadi rumah bagi Suku Bajo yang telah meninggalkan gaya hidup nomaden. Simak reportase tim kami yang sempat mewawancarai dua orang sesepuh “Suku Bajo Daratan” ini.

Pagi itu sebelum berangkat menuju Pulau Rajuni Kecil dari penginapan kami di Pulau Tinabo, petugas Balai Taman Nasional Takabonerate memberitahu kami akan keberadaan komunitas Suku Bajo di sana. Saya belum pernah berteman atau bertatap muka langsung dengan anggota suku laut yang terkenal karena dapat bertahan hidup tanpa daratan ini. Semangat bahari Suku Bajo sudah terkenal ke seluruh dunia. Mereka tersebar di berbagai perairan nusantara; di Flores, Maumere, Gorontalo, Selat Malaka, laut Kalimantan Utara, Filipina Selatan, bahkan hingga ke perairan lepas dekat Australia dan benua Amerika. Khayalan saya tentang mereka ialah gambaran anak-anak kecil berambut kemerah-merahan yang tengah bermain di laut, serta perahu tradisional mereka yang menjadi rumah sekaligus tempat penyimpanan makanan. Akan tetapi, ketika akhirnya menginjakkan kaki di Pulau Rajuni Kecil, gambaran-gambaran itu sirna sekejap mata.

Pulau Rajuni Kecil terbagi atas dua wilayah yang dibedakan menurut etnis: kluster Bugis dan kluster Bajo. Sebuah masjid kecil yang cantik di tengah pulau tersebut menjadi tanda batas pembagian wilayah. Meskipun bernama Rajuni Kecil, pulau ini sejatinya berukuran lebih kecil daripada pulau lain di sebelahnya yang dikenal dengan nama Rajuni Besar. Nama Rajuni berasal dari kata dalam Bahasa Bajo yang berarti “rajanya”. Dahulu kala penduduk Bajo banyak tersebar di perairan Takabonerate yang luasnya hingga ke Laut Flores. Mereka telah memanfaatkan potensi alam di wilayah tersebut jauh sebelum tibanya suku-suku pendatang seperti Bugis, Selayar, Makassar, dan Buton. Setiap pelaut asing yang masuk ke wilayah suku Bajo selalu mencari dimana raja penguasa wilayah ini. Mereka terbiasa dengan konsep kerajaan di daratan, sehingga menganggap bahwa Suku Bajo pun memiliki sistem monarki yang sama dengan mereka. Penduduk Bajo yang ditanya mengenai keberadaan rajanya selalu mengarahkan pelaut-pelaut asing ke pulau tersebut. Akhirnya, kedua pulau yang saling bersebelahan ini pun tenar dengan julukan Rajuni.

Haji Darwis

Haji Darwis, narasumber kami menyebutkan bahwa gelar Opu yang terkenal di Luwu itu sebagai salah satu gelar pemimpin adat Bajo. Peninggalan dari “kerajaan” Bajo di Rajuni dapat ditelusuri melalui keberadaan sebuah bendera keramat bernama Pa’ula-Ula atau Ula-Ula. Bendera berbentuk seperti manusia (memiliki tangan, kaki dan kepala) terdiri atas warna hitam, merah, kuning. Ketika dinaikkan di atas tiang, Ula-Ula selalu diringi oleh bunyi-bunyian gendang tradisional. Konon hanya orang-orang Bajo yang memiliki darah bangsawan lah yang berhak untuk menyimpan dan mengibarkan Ula-Ula. Bendera ini pun biasanya dikibarkan hanya pada saat-saat tertentu seperti acara pernikahan. Konon jika Ula-Ula tidak dikibarkan maka keluarga pengantin akan mengalami kemalangan seperti kesurupan atau kematian. Bendera Ula-Ula ini ternyata juga dimiliki oleh beberapa Suku Bajo lain seperti yang terdapat di Kupang dan Semporna (Sabah, Malaysia). Di Semporna, Ula-Ula disebut dengan nama Sambulayang serta menjadi ikon daerah tersebut.

Menurut keterangan dari petugas Balai Taman Nasional Takabonerate, penduduk Pulau Rajuni Kecil di kluster Bugis kehidupannya jauh lebih mapan daripada penduduk di kluster Bajo. Kami pun menyadari hal tersebut dengan melihat-lihat kondisi perumahan di bagian selatan (kluster Bugis) yang rata-rata sudah terbuat dari batu dan tertata dengan baik, dibanding kondisi perumahan di bagian utara (kluster Bajo) yang rata-rata masih terbuat dari kayu dan masyarakatnya banyak yang tergolong miskin. Konon masyarakat Suku Bajo yang terbiasa hidup di lautan tidak dapat mengelola uang dengan baik. Ketika mendapat sedikit rejeki, mereka cenderung untuk berfoya-foya menghabiskannya saat itu juga. Di lain pihak, masyarakat Bugis yang memang telah mendarah daging ruh sebagai pengusaha mampu untuk menginvestasikan keuntungan yang mereka dapat sehingga hasilnya berkesinambungan. Pola pikir yang berbeda di antara kedua suku ini juga nampak dari penerimaan mereka terhadap modernitas. Ketika petugas Balai Taman Nasional membagikan bibit pohon sukun dan ketapang kepada penduduk pulau untuk penghijauan, masyarakat di kampung Bugis menerimanya dengan senang hati. Penduduk di desa utara sebaliknya; kepercayaan lokal Bajo menganggap pohon ketapang adalah pohon tempat roh-roh jahat bersarang. Alhasil, pohon ketapang yang sudah mulai tumbuh pun mereka tebangi.

Bapak Haji Suryadi atau yang dikenal oleh warga dengan sebutan Haji Suraq adalah seorang tokoh masyarakat Suku Bajo di Rajuni Kecil. Ketika kami temui di kediamannya di Kampung Bajo, beliau tengah mengerjakan sebuah joloroq (perahu kayu) bersama pemuda-pemuda desa. Beliau menyambut kami dengan ramah dan mempersilakan kami masuk ke dalam rumahnya yang sederhana. Sambil duduk santai di ruang tamunya, mulailah Haji Suraq bercerita tentang asal mula Suku Bajo di Pulau Rajuni Kecil.

Kasus Bajo di Pulau Rajuni tergolong unik; mengapa suku petualang yang dijuluki sebagai Gipsi Laut ini dapat menetap di daratan? Konon, mereka mulai menghuni daratan setelah salah seorang leluhur Haji Suraq yang bernama Mboq Tugas (lima generasi di atas beliau) menemukan sebuah bunging di lokasi Pulau Rajuni sekarang ini. Bunging tersebut makin lama menjadi semakin besar sehingga layak dijadikan sebagai tempat huni. Awalnya mereka hanya menjadikan bunging tersebut sebagai tempat singgah, namun semenjak abad ke-18 Suku Tobelo dari Halmahera Utara banyak berkeliaran di perairan Selayar. Suku Tobelo ini menjarah kapal-kapal dagang berbagai bangsa yang melintas di perairan Indonesia Timur. Kapal Sultan Ternate pun acap kali diganggu oleh rombongan bajak laut ini. Kehadiran Suku Tobelo yang meresahkan lalu lintas perdagangan internasional di nusantara membuat mereka amat ditakuti. Suku Bajo yang awalnya hidup damai menjadi target empuk Suku Tobelo untuk dirampok, bahkan dibunuh.

Terdorong oleh ketidaknyamanan berada di bawah bayang-bayang bajak laut, Mboq Tugas yang terkenal karena pernah menghabisi sekapal penuh orang Tobelo dengan berani memimpin kaumnya untuk bermukim di bunging yang ia temukan. Di atas bunging itulah mereka menanam kelapa dan mulai belajar bercocok tanam. Proses ini tentunya tidak gampang. Beberapa cerita yang beredar menyebutkan bagaimana suku ini tidak betah berada di daratan. Ada yang bilang mata mereka dapat melihat kondisi di bawah air jauh lebih terang ketimbang saat berada di darat. Ada juga yang mengatakan bahwa mereka sering merasa pusing alias ‘mabok’ ketika terlalu lama di daratan, sebagaimana halnya orang darat pusing jika berada terlalu lama di atas laut.

Pada akhirnya masyarakat Bajo dapat beradaptasi dengan kehidupan di daratan dan menyemarakkan Pulau Rajuni dengan beragam aktifitas mereka. Kehidupan Suku Bajo tetap berorientasi dengan laut. Mereka menangkap bervariasi hewan laut untuk kemudian dijadikan konsumsi sendiri maupun di jual lagi. Hasil tangkapan ikan di Pulau Rajuni terkenal beragam, melimpah ruah dan murah. Pelaut dari Makassar, Selayar, hingga Nusa Tenggara Barat dan Timur banyak yang pasokan ikannya didatangkan dari Rajuni.

Berdasarkan dongeng yang selalu diceritakan oleh Mboq Juragang (nenek Haji Suraq) ketika ia masih kecil dulu, leluhur Suku Bajo berasal dari kampung BajoE yang berada di Lubo atau Luwu (sekarang daerah ini masuk ke dalam wilayah Kecamatan Tanete Riattang, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan). Konon di sana dulu terdapat sebatang pohon kayu raksasa yang dahannya dapat menyentuh awan-awan di langit. Di atas pohon kayu itulah jutaan burung mengerami telurnya. Suatu ketika, seorang pria sakti menebang pohon tersebut untuk dijadikan sebagai kapal. Bersamaan dengan runtuhnya pohon raksasa, jutaan telur yang berada di atasnya pun ikut pula berjatuhan. Cairan yang keluar dari jutaan telur-telur tersebut menciptakan banjir bandang yang menyebabkan warga BajoE terhanyut ke berbagai penjuru mata angin.

Mereka berkelana mengarungi samudera dan memutuskan untuk tinggal di atas perahu agar katastropi purba yang menyebabkan hancurnya kampung halaman mereka di darat itu tidak terulang lagi. Cerita mengenai asal mula Suku Bajo di atas mengingatkan saya akan episode Ritumpanna Welenrenge dalam epos La Galigo. Sebuah pohon raksasa di muka bumi yang terkenal dengan nama Welenrenge ditebang oleh Pangeran Sawerigading dari kerajaan Ale Luwu sebagai bahan pembuat perahunya untuk berlayar ke negri Cina. Suku Bajo di Pulau Rajuni Kecil tidak mengenal siapa itu Sawerigading atau apa itu La Galigo, namun mitos asal-mula mereka merujuk kepada sumber yang sama dengan suatu penggalan episode dalam karya sastra Bugis klasik.

Haji Suraq juga menceritakan kisah mengenai seorang gadis Bajo yang pada saat banjir bandang tersebut bersembunyi dengan cara masuk ke dalam sebilah bambu. Setelah selama beberapa lama terombang-ambing di lautan, ia terhanyut hingga ke negeri Gowa. Di sana ia ditemukan oleh masyarakat lalu dipersembahkan ke hadapan Sombayya ri Gowa. Sang raja yang jatuh cinta pada pandangan pertama lalu menikahi gadis Bajo itu. Hingga kini cerita yang mengindikasikan Sultan Hasanuddin dan raja-raja Gowa lainnya adalah keturunan dari seorang gadis Bajo ini masih terus tersimpan di dalam memori mereka.

Sayangnya, kearifan lokal masyarakat Bajo semakin tergerus dengan diperkenalkannya model pemerintahan pedesaan. Awalnya saya tidak mengerti, mengapa keberadaan sistem pemerintahan strukrural seperti kepala desa, kepala dusun serta perangkat-perangkatnya itu bisa mengacaukan tradisi yang telah dipraktekkan oleh Suku Bajo selama berabad-abad ini. Menurut Haji Darwis, dulu Suku Bajo menangkap ikan dengan cara yang amat ramah lingkungan, terhindar dari keserakahan. Mereka memiliki aturan main yang didasari pada musim, lingkungan, dan makhluk hidup lainnya. Pada musim kemarau hanya jenis ikan tertentu yang mereka tangkap, demikian pula pada musim hujan. Mereka menunggu saat-saat ketika jumlah ikan sedang naik untuk menangkapnya, memastikan agar daur hidup biota laut ini terus terjaga.

Demikian pula saat berbagi hasil, badan-badan adat seperti punggawa laut yang mengumpulkan hasil laut dari setiap nelayan dan menjualkannya kepada pedagang-pedagang asing. Sistem pemerintahan sederhana orang-orang perahu ini memungkinkan terjadinya aktifitas politik yang ramah lingkungan. Punggawa-punggawa laut membawahi beberapa urusan seperti bagaimana cara menangkap ikan di laut, pembagian hasil, serta. Ada sanksi-sanksi adat yang dikenakan kepada orang-orang Bajo yang melanggar peraturan tersebut. Peraturan-peraturan desa serta penunjukan orang-orang yang tidak memahami interaksi antara orang Bajo dan laut mengakibatkan kematian tradisi serta mengancam kelestarian karang. Pemerintah di pusat yang jauh di sana membuat peraturan-peraturan pengolahan sumber daya alam yang tidak sesuai dengan kondisi di daerah. Suku Bajo tidak dilibatkan dalam pembuatan peraturan tersebut sehingga tidak heran jika kemudian kearifan lokal mereka pun hilang. Padahal berdasarkan suatu penelitian, dimana Suku Bajo bermukim, di situ terdapat kekayaan laut terbaik. Mereka tahu bagaimana cara memperlakukan sekaligus merawat laut dengan penuh kesadaran.

Kini, masyarakat Suku Bajo hidup dengan damai di Pulau Rajuni Kecil bersama tetangga Bugis mereka. Anak-anak Bajo sudah tidak lagi menghabiskan masa hidupnya di atas perahu, namun jiwa dan semangat kelautan masih tersimpan di dalam DNA mereka. Bendera Pa’ula-Ula yang dikibarkan pada setiap upacara adat seakan menjadi pengingat masa lalu akan kehidupan mereka sebagai kembara di tengah luasnya lautan nusantara.

Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Itu Bissu, Bukan Waria!

Beberapa bulan lalu, tim kami sempat mengikuti kajian mengenai bissu di asrama mahasiswa Sulawesi Selatan, Yogyakarta. Isu menarik yang mengundang banyak tanya ini dibawakan oleh kakanda Zainal, dosen Universitas Haluleo yang tengah melanjutkan studinya di Universitas Gadjah Mada. Nah, pada kesempatan kali ini kami akan bercerita sedikit mengenai bissu dan kondisi mereka yang terancam punah di kampung halamannya sendiri.

 

Bissu dalam ritual Maggiriq. Sumber: Pameran Keris Bugis Bentara Budaya Kompas 2012.

            Kemarin (01/09/2012) komunitas bissu di Segeri, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan diselimuti kabut duka. Upe Puang Lolo, biasa dipanggil Puang Upe tertidur damai menghadap Dewata SeuwwaE alias Tuhan Yang Maha Esa. Sosok yang menjalani laku sebagai pendeta kepercayaan Bugis kuno sejak umur 14 tahun ini tidak meninggalkan apa-apa.  Hanya benda-benda pusaka yang ia jaga dan ke-12 orang bissu yang tersisa di Segeri lah warisan yang tidak ia bawa pergi. Kematiannya amat mendadak. Padahal, baru bulan lalu Puang Upe berangkat ke Yogyakarta. Saat itu, tarian bissunya yang mistis sejenak berhasil memindahkan kemistisan tanah Sulawesi ke pusar budaya Jawa.

Tahun lalu, 28 Juni 2011 dunia juga diguncang oleh wafatnya Puang Saidi, matoa alias pemimpin komunitas bissu Segeri. Puang Saidi yang selama hidupnya aktif dalam berbagai kegiatan untuk menghidupkan kembali nilai-nilai tradisi lokal, banyak dijadikan sebagai obyek penelitian oleh para akademisi, baik di dalam maupun di luar negri. Ia pun juga sering diburu oleh wartawan pencari berita agar foto dan ulasan kata-katanya dapat terpajang di berbagai koran dan majalah.

Partisipasi Puang Saidi dalam pertunjukan Teater I La Galigo besutan Robert Wilson membuatnya menjadi bissu pertama yang pernah keliling dunia dan menggemakan bait-bait Sureq Galigo. Untuk membaca bait-bait dalam naskah tersebut, Puang Saidi mesti belajar terlebih dahulu kepada almarhum Drs. Muhammad Salim. Orang yang memiliki kemampuan dalam mendendangkan La Galigo dihadapan publik disebut passureq, dan profesi ini bukanlah hal yang ditekuni oleh bissu meskipun mereka memahami fungsi dan makna La Galigo. Inilah yang kadang disalahpahami oleh masyarakat awam; bissu = passureq. Film dokumenter yang menangkap kehidupan sehari-hari Puang Saidi seperti The Last Bissu (2004) karya Rhoda Gauer maupun liputan khusus tentang dirinya sudah pernah ditayangkan oleh National Geographic, stasiun-stasiun TV nasional, hingga program internasional seperti Andrew Zimmern’s Bizzare World. Pembawaan Puang Saidi yang memang ramah dan terbuka membuatnya cepat dekat dan percaya dengan orang-orang baru.

Ketiadaan Puang Saidi berimbas dengan diangkatnya Puang Upe sebagai pengganti. Ketika Puang Saidi masih hidup, Puang Upe sudah ditunjuk untuk memangku jabatan puang lolo, alias wakil dari pada sang bissu utama. Ia diharapkan agar kelak dapat menjadi pengganti Puang Saidi. Akan tetapi hingga kematiannya kemarin, Puang Upe belum pernah dilantik sebagai puang matoa. Saat  dikuburkan ba’da dhuhur pada hari yang sama, Ia masih berstatus sebagai puang lolo. Siapakah yang akan menjadi pemimpin komunitas bissu di Segeri? Hingga saat ini pun pertanyaan itu juga masih menimbulkan kegelisahan di kalangan mereka sendiri.

Almarhum Puang Saidi. Sumber: Sharyn Graham

Bissu, konon berasal dari kata biksu. Pendapat terkenal yang dilontarkan oleh almarhum Fachruddin Ambo Enre ini menciptakan persepsi bahwa agama Buddha pernah masuk ke Sulawesi purba dan mendapatkan tempat yang cukup signifikan. Akan tetapi, jejak-jejak Hindu-Buddha di Sulawesi Selatan ternyata tidak kuat menancap sebagaimana jejak kedua agama ini di kebudayaan Jawa maupun Bali. Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa bissu berasal dari kata mabessi yang berarti suci. Bissu pada dasarnya merupakan pendeta agama Bugis pra-Islam yang bertugas untuk menjaga pusaka-pusaka kerajaan serta menjadi penghubung interdimensional antara manusia dan Tuhan. Selaku pendeta, Ia bertugas untuk memimpin beragam ritual adat seperti mangota dan mappanre liseq. Karena dianggap mampu  berkomunikasi dengan dunia para dewa, mereka juga dikenal memiliki kekuatan gaib untuk menyembuhkan penyakit, ilmu kekebalan tubuh, menjadi pawang hujan, maupun sebagai penjaga puteri-puteri raja pada jaman kerajaan dulu. Fungsinya yang terakhir ini mirip dengan kasim atau penjaga harem di dalam kebudayaan Cina.

Keunikan bissu terletak pada jenis kelaminnya. Ketika agama-agama di dunia menonjolkan sifat patriarkhi dengan menunjuk imam-imam mereka dari golongan pria, bissu adalah sebuah perkecualian. Secara sederhana, penampilan bissu terlihat mirip waria atau banci. Khazanah Barat melabeli perbuatan individu semacam ini sebagai seorang transvestite atau transgender, namun pada hakikatnya definisi-definisi tersebut bahkan sama sekali tidak mendekati pengertian filosofis bissu yang sebenarnya. Jenis kelamin bissu adalah sebuah kenetralan yang tidak dapat diterima logika zaman sekarang. Orang Bugis kuno menganggap bahwa dengan bertingkah laku menyimpang seperti itu, seseorang akan terjauh dari hasrat seksualnya, baik terhadap lawan maupun sesama jenis. Mereka akan selalu dalam keadaan suci untuk berkomunikasi dengan dewata karena terhindar dari hasrat duniawi.

Konon, bissu telah dimatikan hasrat seksualnya dengan jalan ditotok pada beberapa bagian tubuh. Cara konvensional ini sekedar untuk memastikan bahwa sang bissu tidak akan melanggar sumpahnya dan berhasrat kepada sesama jenis. Bissu kini berjumlah amat sedikit dan jarang ditemui di daerah-daerah Bugis. Hari ini yang banyak ditemukan di Sulawesi Selatan ialah golongan calabai atau laki-laki yang bertingkah laku seperti perempuan. Golongan yang dikategorikan sebagai homoseksual ini mengambil tempat di tengah masyarakat sebagai penghibur. Mereka juga perlahan memasuki dunia ekonomi dengan menjadi indoq botting atau perias pengantin dan membuka toko. Konon calabai memiliki kemampuan untuk membuat pengantin menjadi cantik. Kategori calabai inilah yang sesuai dengan definisi waria yang dianut oleh masyarakat luas. Bissu yang tidak dapat digolongkan sebagai orowane (pria), makunrai (wanita), calabai, maupun calalai (perempuan yang bertingkah seperti laki-laki) menjadi jenis kelamin kelima dalam kebudayaan Bugis.

Bissu bukanlah identitas individu, melainkan identitas kelompok. Tanpa komunitasnya, seorang bissu tak dapat berfungsi sebagaimana mestinya sehingga Ia pun tak layak mengusung gelar tersebut. Seringnya bissu disalahpahami sebagai wadam menandakan bahwa masyarakat menilai fenomena ini hanya dari perspektif fisik. Bissu bukanlah penanda gender, namun perjalanan spiritual. Istilah kebahasaan seringkali menjebak pola pikir masyarakat dalam mendeskripsikan sosok bissu. Fakta bahwa bissu pun dapat berasal dari kalangan perempuan dan dapat menikah serta mempunyai anak pun tidak tersorot ke permukaan. Padahal epos besar La Galigo dengan gamblang mengisahkan bagaimana We Tenri Abeng adik Sawerigading sebenarnya adalah seorang bissu. Demikian pula halnya dengan putri kedua Sawerigading yang bernama We Tenri Dio. We Tenri Dio yang seorang bissu ini menikah dengan Lalaki Sigayya dan memerintah sebagai ratu di Pulau Selayar.

Kini, bissu banyak terdapat di komunitas Segeri. Itupun jumlah mereka semakin hari semakin menipis. Ketika mereka diburu-buru untuk dibunuh era operasi pemurnian Islam di bawah komando Kahar Muzakkar, bissu-bissu dari kerajaan Bone, Soppeng, Wajo, Luwu dan lainnya ini banyak yang melarikan diri ke Pangkep.  Elit-elit lokal Pangkep saat itu menerima mereka dengan tangan terbuka. Kondisi budaya di Pangkep yang merupakan daerah peralihan antara suku Makassar dan Bugis membuat elit-elit lokal bersedia mengambil bissu sebagai penguat identitas mereka di tengah kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi Selatan.

Bissu tinggal imajinasi yang tersisa dari masa lalu, karena seiring dengan hilangnya kerajaan-kerajaan yang mengultuskannya maka hilang pulalah mereka. Simbol-simbol bissu tadi mengendap di balik bayang-bayang waria yang dengan rendah disematkan oleh masyarakatnya sendiri. Akankah bissu menghilang selamanya dari peredaran budaya nusantara? Jawabannya ada di tangan generasi muda bangsa.

 

Referensi:
–          Nurhayati Rahman, Kearifan Lingkungan Hidup Manusia Bugis Berdasarkan Naskah Meong Mpaloe, La Galigo Press.
–          PUANG UPE’, BISSU PENJAGA RAKKEANG KUNING http://www.insist.or.id/id/node/322.
–          Bissu, Pendeta Agama Bugis Kuno yang Kian Terpinggirkan http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/07/bissu-pendeta-agama-bugis-kuno-yang-kian-terpinggirkan.
–          Bissu Segeri Meninggal Dunia di Pangkep http://www.tribunnews.com/2012/09/01/bissu-segeri-meninggal-dunia-di-pangkep.