Author: Louie Buana
Seorang warga Panakkukang yang sedang belajar hukum dan sejarah di Universiteit Leiden, Belanda. Sedari kecil sudah sering berpindah-pindah, dari Pulau Timor hingga Athens (Ohio, Amerika Serikat). Saat ini ia juga menjadi Guest Researcher di Royal Netherlands Institute of Southeast Asian & Carribean Studies (KITLV) Leiden. Punya hobi jalan-jalan, membaca buku dan karaoke.
Teman-teman punya kakek atau nenek yang hobi nyirih? Atau masih ada keluarga di kampung halaman kalian yang demen mengunyah tanaman unik ini? Jika iya, berarti kalian adalah sedikit dari mereka yang beruntung dapat menyaksikan tradisi berumur ribuan tahun asli bangsa Asia Tenggara!
Eh? Serius nyirih udah berlangsung selama ribuan tahun?
Tanaman sirih (Piper betle) dan tradisi mengunyah sirih diperkirakan berasal dari Asia Selatan serta Asia Tenggara. Ada juga yang mengatakan bahwa tradisi ini berawal dari Cina dan India lalu menyebar ke daerah Asia lainnya. Penemuan kotak sirih bersama benda-benda prasejarah seperti pisau besi, mata kail perunggu, gelang, anting-anting berbentuk hewan dan arca di Sulawesi Selatan menandakan bahwa sirih telah dikonsumsi oleh penghuni nusantara sejak Zaman Logam. Saat ini belum ada penemuan resmi yang membuka tabir asal-mula diolahnya sirih dalam peradaban manusia. Akan tetapi, dengan memperhatikan kebudayaan-kebudayaan yang berada di sekitar wilayah penyebaran daun sirih, dapat disimpulkan bahwa tradisi ini telah hidup setua masyarakat itu sendiri.
Di Vietnam, aktifitas mengunyah sirih merupakan “pembuka” dalam setiap forum resmi. Demikian pula di dalam lingkungan adat Melayu. Umumnya sirih dikunyah dengan pinang, kapur, kapulaga ataupun gambir. Di daerah Bengali (India) daun sirih malah biasanya dicampur dengan tobacco atau rempah-rempah lainnya. Istilah sekapur sirih yang kita kenal dalam Bahasa Indonesia sebagai kata pengantar atau sambutan pun lahir dari kebiasaan menyuguhkan daun sirih dan kapur untuk para tetamu.
“Sangat senang bisa menjadi bagian dari usaha pelestarian budaya dengan format muda seperti ini. I UPS! LA GALIGO!”
“Saya tahu tentang La Galigo sejak beberapa tahun lalu, ketika La Galigo dikupas di @Ubud Writers Festival. Dari sana saya mulai cari2 info soal La Galigo. Sesuatu yang sangat membahagiakan apabila kemudian ada proyek ini, semoga menjadi langkah awal dalam membangkitkan kembali semangat-semangat hidup yang dalam La Galigo, dan juga warisan leluhur lainnya tentu. La Galigo For Nusantara, rocks!”
“Totally supported this culture! Ciayo!”
“Go Lontara Project!”
“La Galigo! I’m so proud of Indonesia, with the diversity of cultures, peoples, and beliefs. I hope that this program could increase the awareness of young Indonesian specifically & Indonesian people in general regarding our culture & heritage. Go La Galigo Go!!!”
AYO, TAG FOTO KAMU DI FACEBOOK LA GALIGO FOR NUSANTARA ATAU MENTION KAMI DI TWITTER @lontaraproject! SIAPA BILANG MELESTARIKAN BUDAYA ITU SUSAH? GILIRAN GENERASI MUDA YANG PUNYA CERITA 🙂