Minggu, 20 Juli 2025 menjadi hari bersejarah bagi Indonesia dan Australia—hari ketika denyut masa lalu kembali bergetar di tepian Sungai Jeneberang.
Di tempat yang empat abad silam menjadi medan tempur antara Kerajaan Gowa dan kapal-kapal VOC, kini bergema suara ganrang yang membahana, diiringi raungan puik-puik yang merobek keheningan siang. Matahari membara di langit, namun para penabuh dan penari bergerak tanpa gentar, seolah tubuh mereka adalah perpanjangan dari riwayat leluhur. Daeng Serang, sang maestro, tak sekadar menjadi saksi, melainkan turut menabuh ganrangsambil sesekali meneriakkan pakkuru’ sumanga’—seruan yang dahulu mengobarkan semangat para prajurit Gowa.
Penampilan Sanggar Alam Serang Dakko itu memikat rombongan peneliti dari Indigenous Knowledge Institute, University of Melbourne, serta para tetua masyarakat Aboriginal Australia. Bagi mereka, ini bukan sekadar pertunjukan seni, melainkan gema sejarah yang pernah menyatukan kedua bangsa.
Jauh sebelum batas negara ditetapkan, pelaut Makassar telah berlayar ke pantai utara Australia—khususnya Arnhem Land—sejak awal abad ke-18, bahkan ada catatan lisan yang menyebut hubungan itu dimulai lebih awal lagi. Mereka datang setiap musim angin barat laut, menempuh ribuan kilometer demi memburu teripang (trepang), hewan laut yang sangat berharga di pasar Cina. Di pesisir, mereka menjalin persahabatan dengan Suku Yolņu, saling bertukar barang seperti besi, kain, dan tembakau dengan hasil laut dan pengetahuan lokal. Mereka membangun perkampungan sementara, memasak teripang di tungku pasir, dan meninggalkan jejak bahasa—kata-kata Makassar yang masih hidup dalam bahasa Yolngu hingga kini. Hubungan ini bukan sekadar dagang, tetapi ikatan budaya yang bertahan lebih dari dua abad.
Momen itu terasa hidup kembali ketika perwakilan masyarakat Aboriginal ke depan. Mereka lalu meniup yidaki (didgeridoo), alat musik sakral yang nadanya seakan menggema dari perut bumi, dan menarikan tarian penyambutan warisan Suku Yolņu—tarian yang dahulu dibawakan ketika layar padewakang Makassar mulai terlihat di cakrawala.
“Leluhur hadir dan menyaksikan kebersamaan kita semua saat ini,” demikian ucap salah satu perwakilan dari Australia tersebut. Hubungan antara Makassar dan Marege, nama yang digunakan untuk menyebut kawasan utara Australia oleh pelaut-pelaut Makassar di masa lalu, terus berlanjut lewat interaksi seni dan spiritual di Somba Opu.
Acara ini adalah bagian dari kunjungan Indigenous Knowledge Institute, University of Melbourne, dan Marege Institute yang berafiliasi dengan Universitas Negeri Makassar, untuk menelusuri kembali riwayat pelayaran, perdagangan, dan persahabatan yang lahir dari samudra, dipelihara oleh adat, dan kini dihidupkan kembali di abad ke-21 lewat penelitian dan kesenian. Pada hari itu, masa lalu dan masa kini seolah bersua, dan laut yang dulu memisahkan kini kembali menyatukan.