Categories
Galigoku

La Galigo di Atas Kertas

OEEE SAMBALU`! Aga kareba? Bajiq-bajiq ji?

Dari awal, saya tahu tidaklah mudah untuk meleburkan diri ke dalam proyek yang berskala amat besar ini. Dengan sukarela saya memilih untuk memikul tanggungjawab yang tak dapat lepas dari punggung (makanya punggung saya sering sakit), mungkin untuk seumur hidup.

Akan tetapi, beban ini pun menjadi beban yang menyenangkan pada akhirnya. Saya yakin keputusan yang didasari oleh niat baik ini akan menjadi jalan untuk melunasi hutang saya kepada bangsa, kepada tanah tempat saya lahir. Usaha ini dapat dikategorikan sebagai wujud terima kasih atas nasi yang saya makan, air yang saya minum, dan budaya yang berusaha saya pegang teguh dalam menjalani peran di kehidupan sehari-hari.

Dengan senyum saya katakan pada Ahlul Amri Buana, “Ayo kita lakukan ini!”

Dengan mata melotot saya berseru kepada Setia Negara, “Kenapa malas sekali ko jadi orang?! Kenapa begitu webnya?!”

Dan dengan ramah saya bilang kepada Fitria Afriyanti Sudirman, “Dek.. minta tolong bantu translate.. hehhee..”

***

Mengilustrasikan sebuah naskah kuno yang dikeramatkan (yang konon berasal dari abad ke-7 hingga ke-13 Masehi, ada banyak pendapat tentang ini) dan gaungnya baru kedengaran beberapa tahun terakhir bukanlah pekerjaan mudah. Menginterpretasikan berpuluh-puluh paragraf suatu episode La Galigo ke dalam bentuk ilustrasi, dengan miskinnya data serta informasi yang dibutuhkan, membutuhkan nyali yang besar. Di dalam imanjinasi saya, beberapa orang yang cukup “strict” mengultuskan cerita ini mungkin saja kurang berkenan dengan gambar yang saya buat. Saya membayangkan “to matoa” (orang-orang terdahulu atau siapa saja yang merasa memiliki kewenangan) akan melaknat saya karena dianggap melanggar adat dan pamali. Mereka semua duduk mengelilingi saya di sebuah ruangan, sementara saya duduk di tengah mereka semua, tanpa pembela dan disoroti lampu persis dari atas : sedang disidang.

*telan ludah

Tapi orang-orang meyakinkan saya, termasuk Ahlul, bahwa tiada yang mulus kecuali Sandra Dewi.. eh, kamsudnya, setiap perkara pasti ada yang pro dan kontra (mudah-mudahan yang pro lebih banyak). Kadang-kadang tindakan breaking the rules diperlukan, mungkin salah satunya dengan jalan ini. Saya hanya tidak ingin ada bule yang lebih tahu La Galigo ketimbang kita sendiri (dan sayangnya sudah terjadi, bahkan berpuluh-puluh tahun sebelum saya dan kalian lahir).

Ironi memang, makanya.. bacalah web ini secara lengkap!

Akhirnya saya mengiyakan, walaupun pada awalnya saya kecewa, sangat sangat kecewa (curcol). Sebuah gambar Sawerigading yang saya buat kira-kira hampir dua tahun lalu, dalam imajinasi terbatas, karena info yang saya dapatkan begitu minimnya, beredar cukup banyak di kalangan blogger, bahkan website. Bukankah seharusnya saya senang?

Ilustrasi gambar sawerigading

Tidak, kenyataannya tidak begitu. Seorang blogger, yang kurang bahan, biasanya memposting, lebih tepatnya memindahkan karya orang lain ke dalam post mereka. Sebuah kekeliruan besar yang seringkali mereka lakukan adalah : tidak mencantumkan sumber dimana karya itu mereka salin. Dalam kasus saya, adalah gambar.

Bagi beberapa orang, memang cuma sebuah gambar. Tapi bagi saya dan seniman-seniman lain pun pasti merasakan hal yang sama, sangat menyakitkan ketika karya kita diklaim oleh pihak-pihak tertentu. Apalagi kalau kita sudah jelas-jelas mencantumkan sebuah signature dalam karya tersebut.

Sudah tidak terlalu mengejutkan lagi ketika menemukan gambar saya (di samping) dalam blog-blog orang yang tentunya tidak saya kenal telah kehilangan sumber yang dengan amat jelas menunjukkan bahwa karya itu merupakan hak milik saya. Lebih menyakitkan lagi ketika gambar itu di-stretch sampai melebar atau memanjang sehingga bentuknya menjadi tidak proporsional. Sangat mengganggu! (tanduk saya bisa keluar dua dari jidat). Mengutip kalimat Hana Tajima Simpson ketika mengetahui gaya berkerudungnya dicopas abis oleh pengguna blog lain, “It`s not cool!man.. Benar-benar tidak keren.

Maka dari itu, untuk kedua kalinya, saya sangat berhati-hati dalam memposting sebuah karya. Penyebaran data di internet begitu cepat dan mudahnya. Ketika anda memposting sesuatu di dunia maya, bersiaplah untuk menyaksikan apa yang anda posting itu menjadi milik publik. Di lain pihak saya cukup senang karena akhirnya kami memiliki web sendiri. Dan selanjutnya, karya saya hanya akan muncul secara resmi di web ini atau di galeri saya. Selain itu tidak!

Kalian!!! Tunggulah karyaku! 🙂 *putar-putar lengan seperti Kamen Rider RX

PS : Jangan makan dan minum berdiri ya… Kata pak ustad yang begitu temannya setan.

Bandung, 06 Desember 2011

By Maharani Budi

Maharani Budi, seorang Mediocre Designer mata keranjang terhadap ilmu pengetahuan: heritage, desain, sastra, isu sosial, dan pendidikan. Saat ini sementara mumet dengan semester akhir di RMIT Melbourne. Boleh jalan-jalan ke IGnya @jiecess untuk caption yang lebih sendu dan menohok.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *