Categories
101 La Galigo Featured Galigoku Liputan

Di Bawah Kaki Merapi Kami Mandiri

Ada banyak kisah lain di balik misteri dan kemarahan Gunung Merapi. Gunung yang menjadi ikon Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta serta sumber inspirasi atas mitos-mitos dan legenda lokal ini ternyata juga merupakan “ibu kehidupan” bagi masyarakat yang bermukim di sekitarnya. Mari ikuti  rekam penelusuran Githa Anathasia yang berkunjung ke kaki Gunung Merapi dalam tulisan berikut! 

Perjalananku kali ini, berbarengan dengan teman teman yang inigin mempelajari mengenai Manajemen Bencana di Desa Ngargomulyo, Magelang. Sebelum menuju Desa ini, kami mampir terlebih dahulu ke Warung Makan Lombok Ijo yang memiliki menu special antara lain : Beras Merah Organik, Ayam Bakar Bacem, Daun Pepaya tumis dll.

Selesai menikmati menu menu tersebut, perjalanan dilanjutkan menuju Museum Merapi. Dengan membayar Rp.8.000/orang, kami sudah bisa berkeliling museum Merapi, dan melihat pertunjukan film yang diputar di Museum ini, dengan judul “Di Bawah Kaki Merapi”. Film ini sendiri berisi informasi mengenai ke-Gunung Merapian. Mulai dari kejadian Pra, dan Pasca erupsi Merapi dari tahun ke tahun.

Didirikan tahun 2004, dan sempat ditutup karena Erupsi akhirnya kembali dibuka di tahun 2011, Museum in imemiliki segala informasi mengenai ke Gunung Merapian. Meskipun keadaan plafon dari Museum ini banyak yang berlubang, karena dampak erupsi 2010 yang lalu, tetap saja Museum ini ramai dikunjungi pengunjung.

Ngargomulyo, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang adalah  salah satu Desa yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gunung Merapi. Desa  yang berketinggian 735-900 mdpl ini adalah salah satu kawasan di lereng barat Merapi yang masih baik kondisi hutannya .  Meski hutan-hutan di desa lain di kawasan lereng barat banyak yang rusak karena pertambangan namun desa ini memiliki tekad untuk tetap mempertahankan kondisi hutan yang mereka miliki.

Desa ini termasuk desa yang kecil dengan 11 dusun. Dusun tersebut adalah Sabrang, Kembang, Tanen, Batur Ngisor, Batur Nduwur, Gemer, Tangkil, Ngandong, Karanganyar, dan Bojong. Hutan ini merupakan daerah tangkapan air yang penting di Daerah Aliran Sungai (DAS) Progo, salah satunya adalah Sungai Blongkeng.


Tak cukup sampai disitu, desa ini pula memiliki BIOGAS, bahkan mereka mengklaim desa mereka sebagai desa pertama di Magelang yang memiliki BIOGASKetersediaan air yang melimpah sangat mendukung kegiatan pertanian di desa ini. Dengan jumlah penduduk sekitar 2.381 jiwa, hampir 90% nya adalah petani. Pertanian yang di kembangkan di daerah ini adalah persawahan basah dengan komoditas utama tanaman  padi. Disamping menanam padi mereka juga mengembangkan tanaman tegalan dengan jenis sayuran cabe, kubis, sawi, buncis, dan lain-lain. Sebagian petani ini masih mempertahankan pola pertanian tradisional dengan sistem pertanian organik.

Biogas ini sendiri dihasilkan oleh ternak mereka, yang dominan memiliki ternak sapi. Penggunaan BIOGAS bagi kehidupan sehari hari dirasa cukup membantu warga sekitar untuk memasak, atau aktivitas lain. Masyarakat Ngargomulyo yang sederhana  juga masih memiliki semangat gotong royong yang tinggi. Budaya sambatan(gotong-royong)  adalah salah satunya. Ketika sebuah keluarga membangun rumah maka para tetangga secara sukarela turut membantu.

Ngargomulyo  juga kaya akan kesenian daerah. Kesenian  yang telah mengakar antara lain Jantilan, Reog, Karawitan, Jaelantur, Angguk, Cakar lele, kuda lumping, topeng ireng dan lain-lain. Kebetulan pada saat kedatangan kami disana, disambut oleh Jathilan yang berjudul Ponorogo. Dimainkan oleh 8 orang lelaki dewasa, yang menari diatas kuda lumping terlihat begitu  semangat, meskipun matahari sedang terik bersinar.  Ada satu momen unik disini.

Entah darimana asalnya, aroma kemenyan begitu kuat menusuk hidung, tak maksud mencari darimana, kami berusaha menikmati sajian kesenian dari desa ini.

   

Makan siang kami pun, menggunakan makanan khas Desa Ngargomulyo, Soto Kampung. Begitu mereka menamai makanan tersebut. Isian soto tersebut, ada wortel kukus, telur, dan pootongan daging ayam. Sesuai bentuknya, kuliner ini wajib dinikmati bagi para pelancong yang datang ke desa ini.

Tak cukup hanya disitu, malam harinya kami diajak untuk menikmati kegiatan Karawitan. Bila ditanya, sudah sejak kapan, para pelaku kegiatan ini mengaku sudah sejak nenek buyut, mereka diwariskan kegiatan ini. Cukup malu, bagi saya bila melihat mereka yang sedang berlatih giat dimalam hari, sebagian besar adalah para manula dan hebatnya mereka rela pulang larut malam demi kegiatan ini.

Sambil mendengarkan 3 tembang berturut turut bahkan kami ikut belajar, lebih tepatnya mungkin merecoki kelompok Karawitan ini. Lirik jam tangan, sudah pukul 10 malam. Kami harus segera bergegas kembali ke penginapan masing masing dan beristirahat. Sayang cuaca kurang mendukung pagi itu, tapi syukurlah tak menyurutkan niat kami untuk menunggu Sunrise muncul dari balik Merapi.  Tak perlu menunggu lama, muncullah mentari itu.

Sempurna …

Setelah selesai kami hunting sunrise, kami memutuskan untuk memulai trekking  menuju Jurang Njero. Terletak di kawasan Taman Nasional  Gunung  Merapi, lokasi ini dulunya adalah lokasi bendungan yang berbentuk seperti Jurang, setelah terjadi erupsi lokasi ini menyisakan batu batuan besar, serta bentuk jurang yang semakin dalam dan berbatu. Tapi menghasilkan pemandangan fotografis yang menakjubkan, di apit oleh Gunung Merapi  dan Gunung Merbabu.

Dulu di lokasi ini terdapat sebuah prasasti yang ditandatangani oleh Alm. Bp. Soeharto, yang menandakan bahwa Bendungan ini telah selesai dibangun. Tetapi, sekarang prasasti ini hanya berupa batuan saja, karena tanda tangan yang asli sudah dipindahkan ke museum di Jogja.

Bagi yang suka dengan fotografi view landscape dari sini cukup menggiurkan.  Salah satu fotonya saya pampang disini.

Selesai mengunjungi lokasi ini, kami kembali menuju penginapan melalui jalur yang berbeda pada saat kami datang.  Jalur kami berakhir di Sungai Blongkeng, sambil diajak memetik selada air, dan menikmati segarnya udara serta air yang berasal dari pegunungan yang mengalir di kaki kami.

Perjalanan pun diakhiri sampai sini, kami kembali ke penginapan untuk selanjutnya menuju jakarta

Sungguh suatu liburan yang bukan hanya berwisata tapi juga mengedukasi orang lain untuk belajar mengenai pengalaman mengatasi bencana erupsi, dan bagaimana sebuah kelompok masyarakat bisa menginspirasi kita untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi. Selalu ada hikmah dibalik semua kejadian kan?

 

Githa Anathasia, Ecotourism consultant, penikmat pasar tradisional, volunteer kegiatan sosial dan lingkungan. Predikat itu berada di perempuan ini, plus salah satu penghargaan yang baru saja ia terima sebagai salah satu Creative Tourism Ambassador dari salah satu Media Marketing terkemuika di Indonesia. Kenali Indonesia dan budayanya melalui sisi masyarakat lokal dan potensi kelompok usaha diwilayah tersebut.

 

By Louie Buana

Seorang warga Panakkukang yang sedang belajar hukum dan sejarah di Universiteit Leiden, Belanda. Pernah mengikuti pertukaran pelajar ke Amerika Serikat di bawah program AFS Youth Exchange & Study (YES). Saat ini ia juga menjadi Guest Researcher di Royal Netherlands Institute of Southeast Asian & Carribean Studies (KITLV) Leiden. Punya hobi jalan-jalan, membaca buku dan karaoke.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *