Categories
101 La Galigo Featured Galigoku Liputan

Di Bawah Kaki Merapi Kami Mandiri

Ada banyak kisah lain di balik misteri dan kemarahan Gunung Merapi. Gunung yang menjadi ikon Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta serta sumber inspirasi atas mitos-mitos dan legenda lokal ini ternyata juga merupakan “ibu kehidupan” bagi masyarakat yang bermukim di sekitarnya. Mari ikuti  rekam penelusuran Githa Anathasia yang berkunjung ke kaki Gunung Merapi dalam tulisan berikut! 

Perjalananku kali ini, berbarengan dengan teman teman yang inigin mempelajari mengenai Manajemen Bencana di Desa Ngargomulyo, Magelang. Sebelum menuju Desa ini, kami mampir terlebih dahulu ke Warung Makan Lombok Ijo yang memiliki menu special antara lain : Beras Merah Organik, Ayam Bakar Bacem, Daun Pepaya tumis dll.

Selesai menikmati menu menu tersebut, perjalanan dilanjutkan menuju Museum Merapi. Dengan membayar Rp.8.000/orang, kami sudah bisa berkeliling museum Merapi, dan melihat pertunjukan film yang diputar di Museum ini, dengan judul “Di Bawah Kaki Merapi”. Film ini sendiri berisi informasi mengenai ke-Gunung Merapian. Mulai dari kejadian Pra, dan Pasca erupsi Merapi dari tahun ke tahun.

Didirikan tahun 2004, dan sempat ditutup karena Erupsi akhirnya kembali dibuka di tahun 2011, Museum in imemiliki segala informasi mengenai ke Gunung Merapian. Meskipun keadaan plafon dari Museum ini banyak yang berlubang, karena dampak erupsi 2010 yang lalu, tetap saja Museum ini ramai dikunjungi pengunjung.

Ngargomulyo, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang adalah  salah satu Desa yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gunung Merapi. Desa  yang berketinggian 735-900 mdpl ini adalah salah satu kawasan di lereng barat Merapi yang masih baik kondisi hutannya .  Meski hutan-hutan di desa lain di kawasan lereng barat banyak yang rusak karena pertambangan namun desa ini memiliki tekad untuk tetap mempertahankan kondisi hutan yang mereka miliki.

Desa ini termasuk desa yang kecil dengan 11 dusun. Dusun tersebut adalah Sabrang, Kembang, Tanen, Batur Ngisor, Batur Nduwur, Gemer, Tangkil, Ngandong, Karanganyar, dan Bojong. Hutan ini merupakan daerah tangkapan air yang penting di Daerah Aliran Sungai (DAS) Progo, salah satunya adalah Sungai Blongkeng.


Tak cukup sampai disitu, desa ini pula memiliki BIOGAS, bahkan mereka mengklaim desa mereka sebagai desa pertama di Magelang yang memiliki BIOGASKetersediaan air yang melimpah sangat mendukung kegiatan pertanian di desa ini. Dengan jumlah penduduk sekitar 2.381 jiwa, hampir 90% nya adalah petani. Pertanian yang di kembangkan di daerah ini adalah persawahan basah dengan komoditas utama tanaman  padi. Disamping menanam padi mereka juga mengembangkan tanaman tegalan dengan jenis sayuran cabe, kubis, sawi, buncis, dan lain-lain. Sebagian petani ini masih mempertahankan pola pertanian tradisional dengan sistem pertanian organik.

Biogas ini sendiri dihasilkan oleh ternak mereka, yang dominan memiliki ternak sapi. Penggunaan BIOGAS bagi kehidupan sehari hari dirasa cukup membantu warga sekitar untuk memasak, atau aktivitas lain. Masyarakat Ngargomulyo yang sederhana  juga masih memiliki semangat gotong royong yang tinggi. Budaya sambatan(gotong-royong)  adalah salah satunya. Ketika sebuah keluarga membangun rumah maka para tetangga secara sukarela turut membantu.

Ngargomulyo  juga kaya akan kesenian daerah. Kesenian  yang telah mengakar antara lain Jantilan, Reog, Karawitan, Jaelantur, Angguk, Cakar lele, kuda lumping, topeng ireng dan lain-lain. Kebetulan pada saat kedatangan kami disana, disambut oleh Jathilan yang berjudul Ponorogo. Dimainkan oleh 8 orang lelaki dewasa, yang menari diatas kuda lumping terlihat begitu  semangat, meskipun matahari sedang terik bersinar.  Ada satu momen unik disini.

Entah darimana asalnya, aroma kemenyan begitu kuat menusuk hidung, tak maksud mencari darimana, kami berusaha menikmati sajian kesenian dari desa ini.

   

Makan siang kami pun, menggunakan makanan khas Desa Ngargomulyo, Soto Kampung. Begitu mereka menamai makanan tersebut. Isian soto tersebut, ada wortel kukus, telur, dan pootongan daging ayam. Sesuai bentuknya, kuliner ini wajib dinikmati bagi para pelancong yang datang ke desa ini.

Tak cukup hanya disitu, malam harinya kami diajak untuk menikmati kegiatan Karawitan. Bila ditanya, sudah sejak kapan, para pelaku kegiatan ini mengaku sudah sejak nenek buyut, mereka diwariskan kegiatan ini. Cukup malu, bagi saya bila melihat mereka yang sedang berlatih giat dimalam hari, sebagian besar adalah para manula dan hebatnya mereka rela pulang larut malam demi kegiatan ini.

Sambil mendengarkan 3 tembang berturut turut bahkan kami ikut belajar, lebih tepatnya mungkin merecoki kelompok Karawitan ini. Lirik jam tangan, sudah pukul 10 malam. Kami harus segera bergegas kembali ke penginapan masing masing dan beristirahat. Sayang cuaca kurang mendukung pagi itu, tapi syukurlah tak menyurutkan niat kami untuk menunggu Sunrise muncul dari balik Merapi.  Tak perlu menunggu lama, muncullah mentari itu.

Sempurna …

Setelah selesai kami hunting sunrise, kami memutuskan untuk memulai trekking  menuju Jurang Njero. Terletak di kawasan Taman Nasional  Gunung  Merapi, lokasi ini dulunya adalah lokasi bendungan yang berbentuk seperti Jurang, setelah terjadi erupsi lokasi ini menyisakan batu batuan besar, serta bentuk jurang yang semakin dalam dan berbatu. Tapi menghasilkan pemandangan fotografis yang menakjubkan, di apit oleh Gunung Merapi  dan Gunung Merbabu.

Dulu di lokasi ini terdapat sebuah prasasti yang ditandatangani oleh Alm. Bp. Soeharto, yang menandakan bahwa Bendungan ini telah selesai dibangun. Tetapi, sekarang prasasti ini hanya berupa batuan saja, karena tanda tangan yang asli sudah dipindahkan ke museum di Jogja.

Bagi yang suka dengan fotografi view landscape dari sini cukup menggiurkan.  Salah satu fotonya saya pampang disini.

Selesai mengunjungi lokasi ini, kami kembali menuju penginapan melalui jalur yang berbeda pada saat kami datang.  Jalur kami berakhir di Sungai Blongkeng, sambil diajak memetik selada air, dan menikmati segarnya udara serta air yang berasal dari pegunungan yang mengalir di kaki kami.

Perjalanan pun diakhiri sampai sini, kami kembali ke penginapan untuk selanjutnya menuju jakarta

Sungguh suatu liburan yang bukan hanya berwisata tapi juga mengedukasi orang lain untuk belajar mengenai pengalaman mengatasi bencana erupsi, dan bagaimana sebuah kelompok masyarakat bisa menginspirasi kita untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi. Selalu ada hikmah dibalik semua kejadian kan?

 

Githa Anathasia, Ecotourism consultant, penikmat pasar tradisional, volunteer kegiatan sosial dan lingkungan. Predikat itu berada di perempuan ini, plus salah satu penghargaan yang baru saja ia terima sebagai salah satu Creative Tourism Ambassador dari salah satu Media Marketing terkemuika di Indonesia. Kenali Indonesia dan budayanya melalui sisi masyarakat lokal dan potensi kelompok usaha diwilayah tersebut.

 

Categories
101 La Galigo Featured Galigoku Liputan

Harapan Tersembunyi di Pulau Harapan

Pulau Harapan merupakan salah satu pulau di gugus kepulauan seribu. Secara administrative Pulau Harapan berstatus kelurahan di Kecamatan Pulau Seribu Utara yang terdiri dari 3 kelurahan yaitu Kelurahan Pulau Harapan, Kelurahan Pulau Kelapa, dan Kelurahan Pulau Panggang. Letak Pulau Harapan persis bersebelahan dengan Pulau Kelapa dan terhubung oleh satu ruas jalan. Jarak tempuh dari Jakarta lebih kurang 3 jam menggunakan angkutan penyeberangan ferry dari pelabuhan Muara Angke di Jakarta utara. Akses lain bisa menggunakan kapal sewaan dari Ancol, atau dari beberapa titik pemberangkatan di Tengerang, Banten.

Dermaga Pulau Harapan

Penduduk

Jumlah penduduk Pulau Harapan mencapai 2.200 jiwa atau 770 KK. Mata pencahariaan utama penduduk adalah nelayan. Penduduk Pulau Harapan pada umumnya merupakan penghuni turun-temurun yang sudah menghuni pulau ini sejak ratusan tahun. Mereka terdiri dari beberapa etnis seperti Jawa, Sunda, Bugis, Makassar dan sejumlah etnis lainnya yang sudah berinteraksi sejak lama dan mengalami asimilasi melalui perkawinan. Bahasa yang digunakan sehari-hari adalah bahasa Indonesia dengan sedikit aksen yang khas.

Pariwisata

Melihat potensi yang ada, pariwisata merupakan masa depan perekonomian Pulau Harapan. Tetapi untuk saat ini, pariwisata di Pulau Harapan belum mendapatkan perhatian serius dan belum digarap dengan baik. Hal ini terlihat dari jumlah kunjungan yang masih kalah dibandingkan dengan pulau lain di kepulauan seribu  yang sudah lama dijadikan destinasi wisata seperti Pulau Pramuka dan Pulau Tidung misalnya. Padahal, potensi wisata Pulau Harapan tidak kalah menarik dan sangat potensial.

Beberapa waktu belakangan terutama sejak tahun 2005, geliat pariwisata di Pulau Harapan mulai menggembirakan. Pulau Harapan mulai dilirik terutama oleh wisatawan lokal. Ini didukung pula oleh fasilitas penunjang berupa sarana dan prasarana pariwisata yang mulai membaik. Saat ini sudah mulai hadir beberapa tempat penginapan dan home stay, beberapa warung yang menyediakan menu makanan, dan tempat penyewaan peralatan snorkling. Tersedia juga kapal kecil yang siap sedia menjelajahi pulau. Semua fasilitas ini diharapkan menjadi pendorong kemajuan pariwisata di Pulau Harapan ke depan.

Pariwisata diharapkan memberikan trickledown effect bagi perekonomian masyarakat di Pulau Harapan. Peningkatan jumlah kunjungan wisatawan bisa menjadi pendorong aktifitas ekonomi yang menguntungkan masyarakat luas melalui berbagai sektor. Masyarakat pulau bisa terlibat dalam banyak bidang usaha yang meliputi :

  • Penginapan
  • Akomodasi
  • Safety
  • Kuliner local

Point point diatas sudah dimiliki oleh Kelompok Sadar Wisata Lingkungan yang dipimpin oleh Bapak Safrudin (aka. Rambo).

Pemberdayaan

Aktifitas pemberdayaan di Pulau Harapan umumnya dilakukan oleh pemerintah daerah melalui Lembaga pemberdayaan Masyarakat (LPM) kelurahan. Program yang dijalankan antara lain berupa pemberian pinjaman dana bergulir, latihan keterampilan kerja, peningkatan penghasilan melalui keramba.

Pinjaman bergulir tanpa bunga sudah diberikan pada nelayan sejak tahun 2002. Pinjaman ini merupakan bantuan permodalan dari pemerintah. Program ini berjalan sampai tahun 2008 silam dan berhenti karena terjadi kemacetan dana bergulir.

Mangrove

Pulau Harapan menjadi salah satu wilayah konservasi Mangrove di kawasan Kepulauan Seribu. Sejak lima tahun terakhir konservasi mangrove dilakukan secara partisipatif melibatkan warga masyarakat. Saat ini hampir di setiap RT terdapat tempat pembudidayaan mangrove.

Kebersihan & Kompos

Penduduk Pulau Harapan relative sudah memiliki kesadaran tentang kebersihan. Hal ini terliahat dari adanya bak-bak penampungan sampah di sepanjang jalan di depan rumah warga. Dukungan pihak kelurahan dan pemerintah daerah soal kebersihan ini memang sudah berlangsung lama.

Belakangan ini terlihat bak-bak penampungan sampah tersebut terisi penuh dan belum dipindahkan. Sebagian sampah yang sudah memenuhi bak penampungan tersebut ada yang meluap dan tumpah ke jalan.
Pulau Harapan memiliki sebuah fasilias pengolahan sampah di tempat pembuangan akhir yang sebelumnya dikelola oleh pemerintah melalui dinas kebersihan provinsi. Namun sejak Pebruari 2012 lalu fasilitas ini tidak lagi dibiayai oleh pemerintah. Ini disebabkan karena Dinas Kebersihan mengalami perampingan sehingga tidak ada lagi anggaran untuk fasilitas kebersihan seperti dulu.

Entrepreneurship

Seperti telah disebutkan tadi, mayoritas penduduk Pulau Harapan hidup sebagai nelayan terutama nelayan tangkap. Ini masih merupakan pekerjaan ekstraktif yakni memanfaatkan langsung sumberdaya yang ada di alam. Belakangan ini sebagian penduduk sudah ada yang melakukan usaha perikanan budidaya menggunakan keramba. Di depan pulau terdapat keramba-keramba milik warga.

Menurut keterangan beberapa penduduk, nelayan pada umumnya belum memiliki kesadaran untuk berwirausaha di luar usaha mereka sebagai nelayan. Selain itu, kebiasaan menabung juga belum tumbuh di kalangan masyarakat nelayan. Banyak kalangan masyarakat nelayan yang merasa bahwa usaha melaut akan terus memberikan penghasilan buat mereka. Akibatnya tidak jarang mereka berprilaku boros karena beranggapan toh besok masih akan mendapat hasil tangkapan.

Bidang usaha lain yang digeluti penduduk Pulau Harapan yaitu perdagangan dan keterampilan. Saat ni sudah ada beberapa keluarga yang memiliki usaha pembuatan kerupuk ikan.keterampilan ini mereka dapatkan dari pelatihan yang pernah diselenggarakan oleh pemerintah daerah.

Tanggap Bencana

Akhir Januari 2012 lalu angin kencang menghantam sebagian besar wilayah di gugus kepulauan seribu. Wilayah yang terdampak parah antara lain adalah Pulau Harapan dan Pulau Kelapa. Di kedua pulau ini total bangunan yang rusak mencapai lebih dari 400 rumah. Angin puting beliung juga merusak beberapa bangunan sekolah, menumbangkan pohon-pohon, dan melukai puluhan orang.
Kejadian ini bukan yang pertama kali terjadi di Pulau Harapan. Kejadian serupa juga pernah terjadi beberapa tahun yang lalu namun tidak separah kejadian awal Januari 2012 lalu.

Pulau Harapan belum memiliki program terancana terkait penanggulangan bencana. Saat ini koordinasi penanggulangan bencana masih sangat tergantung dengan pusat melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta serta Palang Merah Indonesia (PMI). Posko penaggulangan bencana dibentuk sesaat terjadi bencana di bawah koordinasi kelurahan dibantu karangtaruna.
Ke depan diharapkan ada blue print penanggulangan bencana yang melibatkan masyarakat lebih luas. Pemahaman dan kepedulian warga masyarakat soal kesiapsiagaan bencana harus dibangun lebih baik lagi.

Selain yang disebutkan di atas, kekayaan bahari yang terdapat di pulau ini juga tidak kalah indah dengan tempat lain. Sebut saja Soft Coral berjenis Dendrophthya sp, ada juga Fire Coral, Sea pean.

Anemon anemone yang menjadi tempat bermain Clown Fish, juga banyak terdapat di pulau ini.

Karang karang yang terdapat di pulau in kebanyakan ditanam oleh para warga dari Pulau Harapan.

Jadi sekarang, bertambah lagi destinasi wisata alternative yang terdapat di Kepulauan Seribu.

 

Githa Anathasia, Ecotourism consultant, penikmat pasar tradisional, volunteer kegiatan sosial dan lingkungan. Predikat itu berada di perempuan ini, plus salah satu penghargaan yang baru saja ia terima sebagai salah satu Creative Tourism Ambassador dari salah satu Media Marketing terkemuika di Indonesia. Kenali Indonesia dan budayanya melalui sisi masyarakat lokal dan potensi kelompok usaha diwilayah tersebut.

Categories
101 La Galigo Featured Old Stuff Good Stuff

Fashion of Keraton Nusantara – Part I

Zaman sekarang, dunia fashion tanah air kebanyakan berkiblat ke Barat.  Sebelum booming K-Pop, Jepang dengan style Harajuku-nya juga sempat mewabahi generasi muda. Di tengah pertempuran ide dan kreatifitas untuk membuat diri terlihat indah hari ini, sayangnya fashion nusantara belum mendapatkan perhatian yang besar dari pemuda-pemudi bangsa (malah acapkali dilabeli “kampungan”). Padahal, fashion nenek moyang kita dulu bisa jadi inspirasi yang oke punya lho. Keluarga kerajaan di nusantara ini ternyata punya selera yang tinggi dalam mix and match budaya Timur dengan unsur-unsur estetika Barat, tentunya tanpa kehilangan filosofi di balik pakaian yang mereka kenakan. Penasaran seperti apa? Yuk kita lihat satu-satu!

I. Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin dari Kesultanan Aceh Darussalam

Ialah salah seorang wanita yang pernah memegang tampuk pemerintahan tertinggi di Bumi Nanggroe Aceh Darussalam. Sebagai anak perempuan Sultan Iskandar Muda, tidak heran jika bakat kepemimpinan mengalir di darah wanita yang menjadi patron ulama besar Abdurrauf Singkil. Untuk ukuran wanita pada zamannya pun, track record-nya lumayan mengagumkan: ia punya hobi menulis sajak dan cerita serta mendukung proyek pembangunan perpustakaan di istana. Sosoknya sebagai seorang perempuan yang tegas dan cinta ilmu pengetahuan jauh dari stigma masyarakat Eropa terhadap kaum Hawa pada masa itu. Satu hal lagi yang perlu disaluti dari sang ratu, Ia menjadi penguasa Aceh pertama yang mengizinkan biarawan Fransiskan dari Eropa untuk membangun gereja di wilayah kekuasaannya.

Berdasarkan ilustrasi karya Sayyid Dahlan Al-Habsyi di atas, busana yang ia kenakan jelas mencerminkan pengaruh Timur Tengah dengan adanya kain penutup kepala  serta gamis bermodel Turki. Warna emas dan hijau yang mencirikan keagungan serta agama Islam mendominasi pakaiannya. Aksesoris dari permata seperti kalung, anting-anting, dan hiasan kepala bercorak-ukir menandakan kemajuan peradaban Aceh masa itu. Ada fakta menarik terkait aksesoris emas yang beliau gunakan. Penggunaan emas sebagai perhiasan utama di istana Aceh Darussalam mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, dimana menurut laporan Augustin de Beaulieu dari Prancis setiap penari istana mengenakan 20 kg emas di badannya! Trend emas ini dibuktikan dengan koleksi benda-benda peninggalan Kesultanan Aceh di Museum Nasional Kopenhagen yang terdiri atas selendang dan celana berbenang emas, kain kepala, topi dan kalung, anting-anting dan ikat pinggang dari perak. Wow, beliau adalah seorang ratu nan pintar, baik hati, terbuka dan kaya raya!

II. Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwana X dari Kasunanan Surakarta

Susuhunan Pakubuwono X – Kasunanan Surakarta (1893-1939)

Inilah raja terkaya dalam sejarah kerajaan Mataram (keraton Yoyakarta-Surakarta). Raja yang bergelar Sinuhun Wicaksana ini amat istimewa. Ia melakukan revolusi di bidang sosial dengan cara memberikan kredit untuk pembangunan rumah bagi warga kurang mampu. Setiap malam Jumat ia akan naik ke atas mobil Mercedes Benz 1905-nya (jangan lupa kalau ia juga raja pertama yang memiliki mobil pribadi di seluruh penjuru Jawa) dan membagi-bagikan uang kepada rakyat yang kurang mampu. Paku Buwono X mendapatkan bintang kehormatan dari Sri Maharaja Puteri Wilhelmina dari Belanda berupa Grutkreissi Ordhe Nederlanse Leyo dengan sebutan raja dalam bahasa Belanda Zijne Vorstelijke Hoogheid. Permaisurinya, Gusti Bandara Raden Ajeng Mur Sudarsinah merupakan putri Sultan Yogyakarta. Penikahan mereka menjadi sejarah karena setelah kerajaan Mataram pecah di tahun 1755 baru kali ini keraton Surakarta dan Yogyakarta kembali menjalin hubungan akrab.

Dalam lukisan ini Ia mengenakan jas hitam atau yang biasa disebut beskap berhiaskan banyak sekali lencana kehormatan. Warna beskap yang hitam menandakan bahwa busana ini tergolong sanes padinetenan atau pakaian yang hanya dikenakan pada upacara adat saja. Sunan Pakubuwono mengenakan kemeja sepinggang serta jarik yang dikencangkan oleh ikat pinggang. Beliau juga mengenakan sepatu atau sloop, yang dari namanya saja sudah jelas berasal dari pengaruh Belanda. Beliau mengenakan kuluk (topi/kopiah kebesaran) yang biasanya juga dikenakan oleh pengantin laki-laki Jawa. Sang istri tampil lebih tradisional dengan baju lengan panjang berbahan velvet atau beludru dengan hiasan benang emas yang hanya boleh dikenakan oleh kaum bangsawan. Jarik dan rambut disanggul. Aksesoris yang ia kenakan ialah tiga susun bros (penanda bahwa beliau merupakan seorang permaisuri), kalung emas, anting-anting, lencana kehormatan, cincin (di kelingking, jari manis dan telunjuk), dan gelang (di kedua pergelangan tangan). Baik raja maupun ratu sama-sama memegang sehelai sapu tangan dengan kunci yang tergantung di bawahnya. Kunci tersebut merupakan kunci ruang pusaka kerajaan.

III. I Gusti Ketut Jelantik dari Kerajaan Buleleng

I Gusti Ketut Jelantik – Patih Raja Buleleng, Bali (1849)

Patih muda yan terkenal gigih menentang penjajahan Belanda ini sejatinya berasal dari Karangasem. Ia terkenal karena kekerasan hatinya dalam mempertahankan martabat kerajaan dan menolak tunduk pada Belanda. Beliau menyerukan puputan alias perang hingga titik darah penghabisan kepada seluruh warga Buleleng. Meskipun terpaksa mundur hingga ke Gunung Batur, Kintamani dan gugur di sana, nama Gusti Ketut Jelantik tetap hidup sebagai penyemangat warga Bali dalam menentang kekuasaan Belanda di Pulau Dewata. 

I Gusti Jelantik nampak begitu gagah pada foto yang diambil di Batavia tersebut. Pakaian yang dikenakan oleh beliau terdiri atas kemeja berkerah dan jas (?) lengan panjang bermotif, kain yang diikat setinggi ulu hati serta celana panjang corak Bali. Beliau juga mengenakan kain sebagai penutup kepala. Perhiasan yang dipakai hanyalah cincin pada jari kelingking dan telunjuk. Pengaruh Barat hampir tidak terlihat, pakaian Gusti Jelantik dapat digolongkan nyaris 100%  busana Bali asli. Berbeda dengan kraton Jawa, di Bali tidak ada motif-motif pakaian yang dikhususkan untuk bangsawan semata. Akan tetapi rakyat biasa tetap tidak diperbolehkan untuk mengenakan kain tenun yang berhiaskan benang emas dan perak atau prada (ragam hias goresan cat emas). Selain hiasan prada, tenunan songket juga menjadi penanda pakaian bangsawan kelas atas. Ciri khas kain Bali yang biasanya berwarna-warni sayangnya tidak dapat kita nikmati dengan jelas pada foto hitam-putih I Gusti Jelantik.

IV. Retna Kencana Colliq Pujie Arung Pancana Toa MatinroE ri TucaE dari Kerajaan Tanete

Retna Kencana Colliq Pujie – Arung Pancana Toa (1812-1876)

Sosok perempuan inspiratif yang telah menyusun naskah La Galigo terpanjang di dunia ini adalah seorang sejarawan, budayawan dan novelis pada zamannya. Tidak hanya sampai di situ, kejeniusan beliau juga nampak dengan terciptanya aksara Bilang-Bilang yang idenya diambil dari bentuk aksara Lontaraq dan Arab. Wanita keturunan Johor-Bugis ini terkenal gigih dalam menghadapi Belanda yang bercokol di negeri Tanete (Kab. Barru, Sulawesi Selatan). Meskipun diasingkan selama bertahun-tahun dan tidak mendapatkan perlakuan selayaknya seorang ratu, Colliq Pujie tetap bertahan dengan prinsipnya untuk tidak tunduk pada penjajahan Belanda.

Pada foto di atas, beliau mengenakan baju model Melayu lengan panjang dengan motif geometris. Baju ini tergolong unik, coba saja perhatikan sambungan diagonal yang melintang dari pundak sebelah kiri beliau hingga perut sebelah kanan. Aksesoris yang ia gunakan antara lain dua cincin emas pada jari telunjuk dan jari manis, kalung, serta semacam sisir kecil yang disisipkan di rambut bagian atas serta sapu tangan. Nah, rambutnya mengkilap di foto ini hampir bisa dipastikan diolesi oleh minyak kelapa, tradisi yang hingga saat ini pun masih hidup di kalangan orang tua Bugis. Sarung yang beliau kenakan merupakan sarung dengan motif flora (pengaruh Melayu-Cina?), sayangnya keindahan sarung tersebut tidak kelihatan karena warnanya hitam-putih. Yang paling membuat penulis terkesima ialah sepatu bergaya India (Jutti) yang beliau gunakan! Sepatu dengan ujung melengkung ke atas seperti itu menandakan bahwa beliau tergolong up to date dengan dunia fashion pada zamannya.  Dikutip dari situs The Bata Shoes Museum:

In Northern India, the curled toe and open back is a common feature of footwear, as is the beautiful, intricate metallic embroidery, which today is still executed completely by hand.

Konon sepatu tipe Jutti atau Mojari ini pertama diciptakan pada masa Dinasti Mughal di India Utara, tepatnya di sekitar wilayah Punjab dan Rajasthan sekarang. Hanya kalangan orang kaya dan bangsawan yang dapat memakai sepatu berbentuk unik dengan motif-motifnya yang cantik ini karena biaya pembuatanya yang lumayan mahal. Sepatu tipe seperti ini digandrungi Barat ketika Eropa terserang oleh demam “Gila India” sekitar abad ke-17. Wah, ternyata Colliq Pujie tidak hanya seorang jenius secara intelektual, referensi fashion beliau pada masa itu pun telah berkelas internasional!

 

Berlanjut ke Fashion Keraton Nusantara – Part II

Referensi Gambar: 

http://sejarah.kompasiana.com/2010/06/22/sultanah-safiatuddin-memimpin-berapa-lama-174008.html
http://www.bridgemanartondemand.com/image/646807/-pakubuwono-x
http://devry.wordpress.com/2010/10/27/a7789ef88d599b8df86bbee632b2994d/
http://www.balifornian.com/blog/2012/7/30/our-family-and-balis-royal-family-of-karangasem.html
http://indonesiaproud.wordpress.com/2011/12/22/colliq-pujie-perempuan-bugis-intelektual-yang-diakui-dunia/
http://sergapntt.wordpress.com/category/manggarai/