Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Mata Jawaku Menatap Songkabala di Lae-Lae

Sobat Lontara, pada tanggal 15 September 2023 yang lalu, Makassar Biennale bekerjasama dengan Gymnastik Emporium, Indonesian Dance Festival dan masyarakat di Pulau Lae-Lae mengadakan sebuah perhelatan berjudul “Songkabala Lae-Lae”. Songkabala yang merupakan tradisi tahunan masyarakat Pulau Lae-Lae ini adalah salah satu bentuk penolakan warga atas rencana reklamasi oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Pada liputan kali ini, Gladhys Elliona, seorang penulis dan peneliti seni dari Jakarta/Yogyakarta yang baru pertama kali menginjakkan kakinya di Makassar, ingin berbagi tentang pengalamannya berada di Pulau Lae-Lae selama Songkabala berlangsung. Selamat membaca.

Siang itu matahari cukup terik, namun puluhan orang mengantre di Dermaga Kayu Bangkoa, kebanyakan dari mereka bagian dari kelompok seni atau perwakilan mahasiswa. Saat itu sekitar jam 14.00 WITA di hari Jumat 15 September 2023, waktu berkumpul peserta yang diminta oleh panitia. Menyeberang dengan kapal, membayar jasa penyeberangan sebesar Rp 25.000 dan berkumpul menunggu acara sengaja menjadi bagian dari dramaturgi Songkabala Lae-Lae. Menurut penuturan panitia, ada 37 orang yang mendaftar secara resmi di Google Form, tetapi kenyataannya lain. Dalam jendela waktu kedatangan peserta dan persiapan rangkaian dari jam 14.00-16.00, semakin banyak orang dari kota Makassar datang ke Pulau Lae-Lae ditambah dengan keterlibatan warga setempat. Diperkirakan lebih dari 130 orang berkumpul untuk menyusuri langkah songkabala yang telah dirancang oleh warga Lae-Lae bersama Gymnastik Emporium.

Songkabala yang merupakan bahasa Makassar dari upacara tolak bala sebenarnya adalah salah satu komponen budaya yang familiar di Sulawesi Selatan. Dengan adanya diskriminasi terhadap kepercayaan asli, kini songkabala jarang dilakukan. Seperti banyak bentuk tolak bala lain, songkabala merupakan sebuah ritual dengan doa-doa agar kejadian yang tidak diinginkan tidak terjadi serta melindungi masyarakat dari efek buruk berbagai hal. Dalam konteks Songkabala
Lae-Lae
, masyarakat Lae-Lae dan Gymnastik Emporium berupaya untuk menolak reklamasi dengan bentuk seni gerakan bersama-sama.

Songkabala dibuka pada jam 16.00 dengan tarian Pakarena sebagai simbolisme selamat datang, ditarikan oleh remaja perempuan Lae-Lae. Acara kemudian diikuti dengan iringan musik folk oleh Has dan joget bersama peserta dan warga. Joget bersama ini bahkan diinisiasi oleh pendiri Indonesian Dance Festival: Nungki Kusumastuti dan Maria Darmaningsih yang pada saat itu ikut hadir dan melebur bersama para peserta. Pembukaan diakhiri dengan teater boneka
tentang kelautan. Rangkaian awal ini terlihat mencampurkan berbagai jenis kesenian dalam bentuk perayaan kolektif, namun tetap mengutamakan esensi gerak bersama.

Peserta kemudian diajak untuk menuju salah satu situs keramat Pulau Lae-Lae di mana terdapat makam leluhur pertama di pulau itu, bunker buatan penjajah Jepang, dan pohon yang dipercaya sebagai pohon tertua di sana. Peserta, panitia, dan tokoh masyarakat tampak memadat di area terbuka tersebut. Kejadian seperti kesurupan yang menimpa warga setempat tak terelakkan terjadi. Satu perempuan dipercaya dirasuki buaya laut karena ia kerap memejamkan mata dan bergerak melata, perempuan lain melotot dan marah-marah dengan bahasa orang tua kepada pemain gendang karena leluhur yang merasukinya tahu bahwa ketukan pemain gendang tidak tepat. Musik tradisional gendang dan seruling memang mengiringi rangkaian songkabala sejak fase ini. Dalam rangkaian ini, bersama juru kunci makam, beberapa undangan dapat menyaksikan dan diajak untuk langsung untuk merapalkan doa dan menyuguhkan sesajen untuk leluhur. Banyak pula makanan yang diasapi dupa untuk diberkati.

Setelah menyampaikan hormat kepada leluhur di langkah kedua, para pemusik memimpin langkah para peserta ke rumah Daeng Kanna. Di sana sudah dibuatkan arena khusus untuk menari Pakarena bersama sang maestro berusia 98 tahun itu. Bahkan ada beberapa hal yang tidak biasa dilakukan, selain memperbolehkan orang dari luar Makassar pada lingkar tari itu, terdapat pula seorang bissu muda yang menari bersama.

Selama menuju langkah selanjutnya, peserta diajak untuk menikmati makanan khas yang dibuat oleh ibu-ibu Lae-Lae, terbuat dari anggur laut, rumput laut, dan hidangan bahari lainnya. Peserta juga diperlihatkan arsip foto warga Lae-Lae yang ditampilkan di tembok rumah warga sebagai sebuah pameran kecil, di dalamnya terdapat foto keseharian hingga dokumentasi aksi blokade beberapa waktu lalu. Beberapa benda kebudayaan juga tampak menjadi bagian dari
pameran kecil tak jauh dari sumur Belanda pulau itu, seperti pusaka kecil dan badik.

Di rangkaian menuju akhir, pemusik bersama beberapa tamu undangan dan tokoh masyarakat berdoa dan mempersembahkan sesajen ke makam leluhur perempuan yang dipercaya sebagai keturunan bangsawan yang menetap di Lae-Lae. Daeng Bau’, yang membawa lukisan perempuan laut interpretasi seniman Nur Ikayani (ilustrasi dalam poster Songkabala versi Makassar Biennale), juga secara spontan menyampaikan sebuah pidato. Beliau merasa
pergerakan dan perjuangan warga Lae-Lae ini didukung banyak orang dan berkata bahwa:

“Kami memeluk laut dan laut memeluk kami.”

Rangkaian ditutup dengan melarung sesajen dupa kelapa yang sudah didoakan dan telah menjadi bagian dari perjalanan bersama dari dermaga hingga sekarang. Pelarungan sesajen kelapa itu diiringi musik tradisional gendang dan seruling dan sorak sorai peserta songkabala. Warga dan pendatang melebur bersama dan merayakan fenomena budaya yang hangat dan didasari rasa saling mendukung itu. Sesajen kelapa hanyut di laut Makassar bersamaan dengan
terbenamnya matahari di ufuk barat. Pemandangan ini menjadi penutup songkabala yang terasa katartik dan membuat hati gembira banyak orang di hari itu.

Perlawanan memiliki banyak bentuk. Pada usaha-usaha sebelumnya, masyarakat Lae-Lae telah melakukan pemblokiran jalur laut terhadap otoritas pro-reklamasi yang hendak masuk ke pulau mereka. September lalu, masyarakat Lae-Lae memiliki cara baru untuk bergerak. Bersama dengan Gymnastik Emporium, kolektif pertunjukan asal Yogyakarta, masyarakat Lae-Lae dan beberapa aktivis yang ikut membela isu Lae-Lae melakukan koreografi sosial dalam bentuk songkabala. Koreografi sosial ini juga merupakan prakarsa Indonesian Dance Festival dan Makassar Biennale 2023.


Tiga Assipa
Walau acara songkabala yang saya deskripsikan barusan adalah, salah satunya, karena memenuhi urusan pekerjaan, kunjungan saya ke Makassar untuk pertama kali ini untuk membentuk impresi. Makassar adalah kota yang dibanggakan oleh sahabat-sahabat saya. Saya yang tidak benar-benar punya pengalaman dengan Timur Indonesia mendapatkan kesan membahagiakan di sini. Rasanya seperti mencecap kegurihan khas, yang teman baik saya, Ananda Zhafira, katakan: assipa. Saya merasa ada tiga hal yang membuat impresi saya begitu assipa di sini.

Pertama, lingkaran pelaku budaya yang saya kenal sedari awal tahu memiliki kesadaran lepas dari poros ke-Jawaan; namun di sisi lain ada juga yang memang murni menjaga marwah-marwah tradisi. Ada yang pernah bertanya pada saya: “Anak-anak seni di Makassar belum toxic kan?”.

Saya cuma bisa menjawab dengan rasa Jawa saya: belum dan sangat terbuka. Bahkan para penjaga bentuk seni tradisional juga membukakan sekali pintu untuk saya merasakan bagaimana
budaya tradisi Makassar yang asli. Di sisi lain, saya juga melihat pendekatan seni kontemporer yang lain; yang tidak Eurosentris dan Jawasentris. Pertemuan saya dengan Makassar Biennale dan seniman nasional serta internasional yang terlibat membuat saya berpikir: ah, kita bisa kok membuat seni yang menyentuh dan tak perlu “grandeur”, yang dekat dengan keseharian. Melihat Rumata’ Art Space misalnya, membuat saya jadi punya kepercayaan bahwa, kalau ada yang mau membangun ruang seni dengan apa yang paling dekat dengan mereka (ditambah dengan kritik pribadi atas satu-dua hal tertentu), siapapun akan dimampukan.

Kedua, makanannya yang soul food. Banyak nama ikan yang saya tidak pernah dengar seumur hidup saya; rasanya pun melebihi apa yang ada di Jawa. Cumi bakar yang tebalnya lebih dari 3 cm, ikan bakar dengan bumbu yang tak terbayangkan, serta kelapa dan rempah segar yang ada di dalam pallubasa. Saya langsung menyadari betul bahwa, makanan ini adalah representasi tanah dan air Sulawesi. Makanan yang otentisitasnya mesti dijaga dan dipertahankan. Di tengah
gempuran makanan dan tren konsumsi yang berpusat dari Jakarta dan pulau Jawa, semestinya assipa makanan Sulawesi Selatan akan selalu tak lekang dihabiskan zaman. Saya merasa ada yang mengucapkan selamat datang setiap kali hangat makanan Makassar menyentuh lidah dan perut saya.

Ketiga, spiritualitas dengan warna berbeda. Ini yang sesungguhnya membuat saya agak shock, sebab sebagai seseorang yang memang tertarik pada bidang spiritual, saya merasa mungkin bisa berkenalan dengan energi di Sulawesi, tampaknya saya terlalu percaya diri. Ada banyak hal yang tidak saya kenali dan tidak pernah saya sentuh sebelumnya. Utamanya vibrasi dan cara berkomunikasi. Saya berkesempatan melihat fenomena trance (atau bisa dibilang
kesurupan) sekitar lebih dari empat kali dalam dua hari. Ada yang melata, ada yang melotot dan protes soal pukulan kendang, ada yang menari dan bergumam dalam nada yang membuat bulu kuduk saya merinding, ada pula yang bersentuhan dengan leluhur yang tersakiti. Saya pikir, Jawa sudah cukup beragam soal fenomena ini, tapi ternyata saya salah: ada banyak spektrum pengalaman tak nalar yang belum saya kenali. Menariknya, tidak seperti banyak orang kota atau
Jawa yang mulai ingin menalar-nalarkan keadaan ini, orang Makassar terlihat lempeng-lempeng saja. Tidak mengkritisi, tapi tidak juga menolak kenyataan bahwa hal ini bisa terjadi. Apa mungkin itu bentuk kerendahan hati berkehidupan dengan yang tak kasat mata?

Begitulah impresiku terhadap Makassar. Mungkin pandanganku akan sangat keJawa-Jawaan, tapi mungkin itu yang membuatku melihat Makassar begitu berwarna: lautnya, tariannya, tawa
orang-orangnya. Satu hal yang aku tahu, kalau aku kembali lagi ke Makassar, mereka akan membuka pintu selebar-lebarnya untukku mengalami dinamika dan assipa lain yang biasa aku
dengar dari cerita-cerita orang saja.

Gladhys Elliona adalah penulis dan peneliti seni. Ia lulus dari Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Universitas Gadjah Mada di tahun 2022. Gladhys telah menerbitkan dan menerjemahkan di beberapa buku, antara lain: Tentang Desir dan kisah-kisah lainnya (2019) dan 1970: sebuah novel (2023). Ia juga terlibat dan menulis di berbagai program seni budaya lintas disiplin skala nasional dan internasional sejak tahun 2014. Saat ini, ia menjabat sebagai Koordinator Riset di Yayasan Loka Tari Nusantara dan Peneliti Mitra bidang sastra Asia di CEÁSIA, Universidade Federal de Pernambuco, Brasil.

Categories
101 La Galigo Featured Kareba-Kareba Liputan

Tentang Kamus Bugis-Inggris-Indonesia Pertama di Dunia

Senin, 11 Desember 2023 hujan turun seharian membasahi Makassar. Kemacetan lalu lintas dan genangan air di jalan-jalan berlubang kembali bermunculan, menandakan kota ini telah memasuki musim penghujan. Hari itu kawan-kawan di Kampung Buku sedang sibuk menyiapkan sesuatu yang spektakuler. Selepas maghrib, mereka akan membidani lahirnya sebuah karya yang tidak saja memperkaya khazanah literasi lokal namun juga menjembatani pemahaman lintas budaya tentang bahasa.

Andi Makkuraga nama panggilannya. Lahir di Makassar. Tinggi sekitar 2 meter. Saat ia memasuki Kampung Buku dan melepas helm merahnya, yang nampak adalah seorang pria berperawakan Kaukasia. Namun begitu ia menyalami kami yang telah menunggunya sepanjang sore itu satu per satu, dari lidahnya mengalun Bahasa Bugis berlogat Soppéng.

Pria yang punya nama lahir Douglas Laskowske ini adalah seorang peneliti bahasa dari University of North Dakota. Kecakapan Douglas berbahasa Bugis ia peroleh ketika melakukan riset lapangan di berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Fokus studinya memang Bahasa Bugis yang digunakan sehari-hari oleh masyarakat penutur asli, sehingga mau tak mau ia pun juga harus menguasainya. Bahasa Indonesianya? Jelas ia fasih sekali. Bahasa Inggrisnya? Well, meskipun seorang native speaker berkebangsaan Amerika Serikat, ia mengaku sejak tinggal di Sulawesi Selatan selama 10 tahun ini ia lebih mahir bercakap dalam Basa Ogiq ketimbang English. Hasil penelitian selama bertahun-tahun itulah yang kemudian ia kumpulkan dan kembangkan sehingga menjadi sebuah kamus trilingual Bugis-Inggris-Indonesia pertama di dunia.

Ayahnya yang juga seorang linguist adalah orang yang bertanggung jawab dalam menularkan rasa cinta Douglas terhadap bahasa-bahasa di Sulawesi Selatan. Bagaimana tidak, ayah Douglas, Thomas Laskowske, dulunya pernah menghabiskan waktu bertahun-tahun di pedalaman Luwu utara untuk mempelajari Bahasa Seko Padang. Saat itu, Thomas harus berjuang dengan berjalan kaki ataupun menggunakan moda transportasi seperti kuda dan motor dari kota Masamba menuju ke pemukiman warga Seko Padang yang terpencil. Jerih payah Thomas membuahkan hasil saat akhirnya ia berhasil menerjemahkan Alkitab Perjanjian Baru ke Bahasa Seko Padang. Perjuangan sang ayah menginspirasi sang anak untuk menjadi seorang ahli bahasa di kemudian hari.

Acara launching Kamus Bugis-Inggris-Indonesia di Kampung Buku, Makassar. Menghadirkan Douglas Laskowske sebagai pencipta kamus, Azizi Aprilyah sebagai moderator, serta Anwar Jimpe Rachman mewakili penerbit Ininnawa.

Menurut Douglas, Bahasa Bugis adalah bahasa yang istimewa. Bahasa Bugis merupakan bahasa berpenutur terbanyak di kawasan Indonesia Timur. Mengapa? Sebab orang Bugis gemar merantau. Mereka banyak bermukim di luar pulau Sulawesi, terutama di Kalimantan, Nusa Tenggara dan Papua. Seiring dengan berpindahnya masyarakat Bugis ke kantong-kantong diasporanya, mengikut pula bahasanya, meskipun kebanyakan hanya dituturkan di lingkungan keluarga atau komunitasnya sendiri.

Terdapat kurang lebih 10 macam dialek dalam Bahasa Bugis yang masing-masing memiliki keunikan kosakata dan pengucapan. Dalam hal ini, Douglas memilih untuk mengeksplorasi dialek Soppeng sebab menurutnya dialek tersebut dianggap yang paling ‘netral’, sehingga dapat dipahami oleh beragam masyarakat Bugis di daerah-daerah lainnya. Hal ini tidak terlepas dari faktor geografis Soppeng yang terletak di tengah-tengah kawasan berpenutur Bahasa Bugis.

Kamus Douglas bukan lah kamus Bahasa Bugis pertama di dunia. Pada tahun 1874, B.F. Matthes yang merupakan seorang ahli bahasa dari Leiden pernah menerbitkan Boegineesche-Hollandsch woordenboek atau kamus Bahasa Bugis-Belanda. Namun sejatinya sebelum Matthes, C.H. Thomsen sudah pernah menerbitkan sebuah kamus kecil Bahasa Bugis-Inggris yang termuat dalam buku berjudul “A Code of Bugis Maritime Laws” (Mission Press: 1832) di Singapura. M. Ide Said juga pernah menerbitkan “Kamus Bahasa Bugis-Indonesia” pada tahun 1977. Douglas bahkan mengaku bahwa ia mengambil banyak inspirasi dari karya Rafiuddin Nur “Aku Bangga Berbahasa Bugis, Bahasa Bugis dari ka sampai ha” (Rumah Ide: 2008). Namun demikian, kamus Douglas ini menjadi kontribusi yang luarbiasa terutama bagi kawan-kawan pemula yang berminat untuk belajar Bahasa Bugis. Kehadiran tiga bahasa di kamus ini memperluas pengetahuan penggunanya akan keragaman kata dan makna di tiga kebudayaan yang berbeda.

Acara launching kamus trilingual Douglas pada malam hari itu berlangsung dengan penuh suka-cita dan tawa. Tidak lama setelah diskusi berakhir, selayaknya sebuah jumpa fans, Douglas dikerubungi oleh penonton yang meminta untuk menandatangani kamus karyanya tersebut atau sekedar untuk meminta foto. Bagi kawan-kawan yang berminat, Kamus Bahasa Bugis-Inggris-Indonesia ini dapat dipesan di Kampung Buku, l. Abdullah Daeng Sirua No.192 E, Pandang, Kec. Panakkukang, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90231 (Nomor telepon: +6281354653603).

Referensi:

“Bupati Soppeng Menerima Cetakan Pertama Kamus Bugis-Inggris-Indonesia yang Disusun Oleh Douglas Laskowske”, Website Resmi Kabupaten Soppeng.

Wenas Kalangit, “Jangan Tinggalkan Seko, Pak Tom!”, Lembaga Alkitab Indonesia.   

Categories
101 La Galigo Featured Liputan

Kosmologi Bugis dalam “The Three World of Galigo”

Sobat Lontara, di masa awal pandemi tahun 2020 silam kedua kawan kita, Maharani Budi & Louie Buana, berkolaborasi menciptakan sebuah karya berjudul “The Three World of Galigo.” Karya tersebut merupakan penafsiran visual atas kosmologi masyarakat Bugis di Bumi Sulawesi sebagaimana yang tergambarkan dalam epos La Galigo.

The Three World of Galigo pernah dipamerkan secara virtual sebanyak dua kali. Pertama, dalam rangka Festival Kertas Sejagat yang diselenggarakan pada tanggal 10-20 Mei 2020. Pada kesempatan itu karya Maharani dan Louie dipajang bersama karya 47 perupa lainnya dari seantero Indonesia dan bahkan luar negeri. Sesuai judulnya, pameran tersebut menekankan penggunaan medium kertas dalam proses kreatifnya. Yang kedua, The Three World of Galigo terpilih untuk ditampilkan dalam “Proyek Indonesia” oleh Ilustrasee. Lewat pameran ini, Ilustrasee bertujuan untuk meninggalkan gambaran klise dan mengeksplor visual mengenai Nusantara dengan lebih dalam dan bermakna.

Kali ini, untuk ketiga kalinya The Three World of La Galigo mendapatkan kehormatan dari penerbit Makassar Biennale 2023 dan komunitas Kampung Buku. Karya tersebut dipercaya sebagai ilustrasi sampul buku berjudul “Riwayat Gunung dan Silsilah Laut: Sejarah Baru tentang Air, Perkampungan, dan Migrasi di Makassar, Nabire, Labuan Bajo, Pare-Pare dan Pangkep“. Buku yang ditulis oleh 25 peneliti muda itu berisi lima narasi tentang perkembangan wilayah-wilayah yang disebutkan di atas. Cerita-ceritanya disusun berdasarkan pengalaman dan kesaksian-kesaksian tangan pertama.

Nah, untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh terkait ilustrasi “The Three World of Galigo” ini, berikut penjelasannya:

Masyarakat Bugis kuno di Sulawesi Selatan meyakini bahwa jagad raya ini sesungguhnya terdiri dari “tiga lapis dunia, tujuh susun langit dan bumi, serta semesta berbentuk segiempat belah ketupat”.

Pandangan tersebut tertuang di dalam epos La Galigo, naskah yang disakralkan oleh manusia Bugis sebelum kedatangan agama Islam. La Galigo memaparkan bagaimana dunia tercipta dan awal mula manusia hadir di muka bumi (Ale Lino). Penguasa Boting Langiq (kahyangan) dan Perettiwi (negeri di bawah samudera) bersepakat untuk menurunkan Batara Guru, putra sulung Datu Patotoé (raja Boting Langiq) serta menaikkan We Nyiliq Timoq, putri Opu Samudda (dewa yang bertakhta di dasar lautan) sebagai pasangan manusia pertama di Ale Lino. Tujuan dari pengisian Dunia Tengah yang masih kosong dengan manusia itu adalah: agar hakikat Kedewataan para penguasa adikodrati di Boting Langiq dan Perettiwi dapat dikenali mahluk lain, diakui, diagungkan serta disembah. Secara simbolik, eksistensi manusia dalam mengisi & mengelola Dunia Tengah amat bergantung kepada dua dunia lainnya, begitu pula sebaliknya.

Ketiga lapis dunia Galigo ini digambarkan berbentuk sulappa eppaq walasuji (segiempat belah ketupat). Sulappa eppaq walasuji adalah representasi dari empat elemen dasar yang menopang semesta secara makrokosmos (air, api, udara, tanah) serta empat unsur abstrak manusia sempurna sebagai mikrokosmos: kecendekiaan (ammacangeng), kekayaan (asugireng), kekuasaan (akkarungeng), dan ketampanan/kecantikan (akkesingeng).

Tiga dunia yaitu Boting Langiq – Ale Lino – Perettiwi menjadi satu dihubungkan oleh jembatan pelangi (tarawué) dan pohon kosmik Welenrengnge. Pelangi lahir karena titik-titik air dari samudera yang moksha ke angkasa ditempias mentari, sedangkan pohon tumbuh mencakar langit dari rahim bumi. Perpaduan khas Austronesia yang mendamaikan dua hal saling bertentangan (langit-bumi, laut-gunung, siang-malam, panas-dingin). Dikisahkan dalam epos La Galigo bagaimana tokoh Sawerigading dari Ale Luwu menebang pohon Welenrengnge untuk kemudian ia gunakan sebagai kapal berlayar ke negeri Ale Cina. Perubahan bentuk pohon kosmik Welenrengnge menjadi kapal melambangkan filosofi manusia Bugis yang alam semestanya dinamis dan senantiasa berubah, mencitrakan tradisi rantau lewat pepatah “malekkeq dapureng” (berpindah dapur) dimana pusat jagad raya tidak hanya berada pada satu titik namun dapat dipindahkan/digantikan sesuai konteks serta kondisinya.

Di keempat sisi semesta, di sudut-sudut khayali Sulappaq Eppaq, konstelasi kuna dalam rupa Manuk / Ayam (Canopus-Sirius-Procyon), Jonga / Rusa (Ursa Major), Mangiwang / Hiu (Scorpio selatan) & Worong Porong / Tujuh Tumpukan (Pleiades) menjaga dan menerangi dunia. Rasi bintang Bugis tersebut dikenal dengan baik di kalangan nahkoda dan digunakan sebagai petunjuk arah dalam pelayaran. Bintang-bintang tersebut juga dijadikan acuan dalam pergantian musim oleh kalangan petani Bugis. Contohnya, apabila Worong Porong terbenam sebelum waktu shalat subuh (sekitar pukul 04.00) diyakini hujan dari angin musim barat akan segera tiba (pada akhir bulan Desember).